LBH Jakarta Adukan Kasus Salah Tangkap
Anggota Komisi III DPR RI, Taufiqulhadi (F-NasDem)/Foto:doehIiw
Kasus salah tangkap banyak terjadi dalam penegakan hukum di tanah air. Orang awam atau rakyat kecil yang tak mengerti hukum kerap menjadi korbannya. Kepolisian Negara harus bertanggung jawab atas banyaknya kasus salah tangkap yang berujung pada munculnya peradilan sesat.
Demikian terungkap dalam rapat dengar pendapat saat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengadukan kasus salah tangkap ke Komisi III DPR RI. Adalah Ibu Marni yang memiliki anak bernama Andro Supriyanto mengalami kasus salah tangkap dan sempat dibawa ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia dituduh melakukan pembunuhan terhadap Dicky Maulana. Di PN Jaksel ia divonis bersalah. Tapi di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, ia dinyatakan tidak bersalah.
Atas kasus salah tangkap itu Ibu Marni mengajukan ganti kerugian berdasarkan Pasal 95 KUHAP jo. PP No.92/2015. Ganti kerugian dikabulkan oleh Pengadilan Jakarta Selatan pada tanggal 23 Agustus 2016. Hakim yang menyidangkan perkara ini memerintahkan kepada Menteri Keuangan untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 36 juga. Tapi ganti rugi tak kunjung dibayarkan oleh Kementerian Keuangan dengan alasan belum ada Permenkeu untuk mencairkannya.
Mendengar pengaduan ini, Anggota Komisi III DPR Taufiqulhadi menyerukan agar Ibu Marni yang anaknya menjadi korban salah tangkap terus bergerak mencari keadilan. Dan Komisi III akan membantu mempertanyakannya kepada Kapolri. “Kasus ini cukup menarik. Ada Peratruran Pemerintah yang dibuat sendiri. Harusnya efektif karena sudah dibuat. Tapi kalau (penegak hukum) banyak berdalih, menurut saya tidak tepat ketika negara berhadapan dengan rakyatnya. Ini jadi catatan sendiri bagi legislatif. Jadi Ibu Marni tidak usah khawatir,” ucap Taufiq.
Sementara itu, Anggota Komisi III lainnya Arteria Dahlan mengungkapkan, kasus salah tangkap sangat banyak terjadi. Bahkan, katanya, 30 persen kasus salah tangkap terjadi dalam proses penegakan hukum. Ia memuji kerja LBH Jakarta yang memberi advokasi dan semangat kepada korban salah tangkap ini. “Potensi pengadailan sesat sangat besar di tengah kualitas hakim, jaksa dan polisi seperti sekarang. Salah tangkap itu banyak sekali,” kilahnya.
Para penyidik di Kepolisian juga kerap mampu mengemas kasus salah tangkap ini dengan baik, sehingga bisa diajukan ke pengadilan. Ini kasus serius. Polri harus menerapkan restorative justice, yaitu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.
“Kapolri harus bertanggung jawab. Sejak ada restorative justice tidak perlu lagi menunggu uang ganti rugi dari Kemenkeu. Tapi, uang ganti rugi akibat salah tangkap ini bisa diambil dari anggaran Polri sendiri untuk diberikan kepada Ibu Marni,” jelasnya. (mh/sc)