RUU Pengelolaan Kebudayaan Fasilitasi Dialog Antar Budaya

28-10-2013 / KOMISI X

Makna kebudayaan sangat luas dan universal. Membincang kebudayaan tidak bisa sektoral. Ia melibatkan semua aspek. Ketika DPR hendak merancang RUU Pengelolaan Kebudayaan, maka RUU ini harus memfasilitasi dialog antarbudaya. Itulah yang sangat urgen.

Demikian mengemuka dalam acara Forum Legislasi yang membincangkan RUU Pengelolaan Kebudayaan di Press Room DPR, Senin (28/10). Hadir sebagai pembicara Anggota Komisi X DPR Dedi Suwandi Gumelar (F-PDI Perjuangan), budayawan Betawi Ridwan Saidi, dan Bambang Wibawarta peneliti sekaligus Wakil Rektor UI.

 

RUU ini ternyata sudah mengendap 10 tahun yang merupakan warisan dari DPR periode sebelumnya. Dedi Gumelar alias Miing, mengungkapkan, RUU ini sudah mengumpulkan dan membahas DIM. Diharapkan pada masa sidang yang akan datang sudah masuk ke Baleg DPR. Ironisnya, UU Cagar Budaya dan UU Perfilman malah sudah diundang lebih dulu. Padahal, kedua UU itu merupakan “anak sungai” dari induknya yang hingga kini belum diundangkan.

Banyak persoalan yang dibahas dalam pengelolaan kebudayaan. Dari mulai berkesenian hingga beprilaku masuk dalam konten RUU ini. Tujuannya tentu untuk kesejahteraan rakyat. Menurut Bambang Wibawarta, ada 4 aspek penting dalam membahas kebudayaan. Pertama, pengetahuan kebudayaan harus menjadi prilaku anak bangsa. Kedua, kebudayaan bisa dikaitkan dengan diplomasi. Ketiga, kebudayaan terkait pula dengan ekonomi. Dan keempat, kebudayaan sebagai pemersatu bangsa.

Saat ini kita kerap salah kaprah, kata Bambang. Makna kebudayaan dipersempit hanya sebatas berkesenian. Lihat buku-buku teks pelajaran di sekolah. Materi kebudayaan ternyata dimaknai dengan seni tari. Padahal bukan hanya itu. Kebudayaan sangat luas. Bagaimana dengan RUU ini nantinya bisa mengantar pada dialog antarbudaya di Tanah Air. Antarsuka dan adapt bisa disandingkan bukan dipertandingkan.

Kebudayaan ini bila tidak dikelola dengan baik, akan selalu terjadi benturan. Lihatlah konflik antaretnis begitu banyak terjadi. Sementara itu budayawan Ridwan Saidi, berpendapat, perkawinan adat adalah masalah budaya. Dia tak wajib dicatat di kantor catatan sipil, karena ini menyangkut tradisi yang sudah ribuan tahun ada di Indonesia. bila masih ada kewajiban pencatatan, berarti ada diskriminasi.

Ridwan menyambut baik tiga provinsi yang ternyata sudah punya Perda Kebudayaan, yaitu Aceh, Riau, dan Yogyakarta. Sebagai warga Betawi, ia kecewa Jakarta belum punya Perda tersebut. Padahal, itu sangat penting. Dan rumusan Perdanya sudah selesai dibahas di tingkat perancang, tinggal diajukan ke DPRD. Sayangnya, tidak ada tindak lanjut nasib rancangan Perda tersebut. (mh), foto : eka hindra/parle/hr.

BERITA TERKAIT
Fikri Faqih Terima Aspirasi Forum Guru Honorer dan PPPK di Jateng, Berharap Solusi Atas Persoalan Kepegawaian
17-08-2025 / KOMISI X
PARLEMENTARIA, Jakarta - Keresahan tengah dirasakan ratusan guru honorer dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Jawa Tengah. Persoalan...
Once Mekel Apresiasi Terbitnya Permenkum Royalti, Fondasi Hukum Pertunjukan dan Musisi Nasional
17-08-2025 / KOMISI X
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi X DPR RI, Elfonda Mekel, menyampaikan apresiasi atas terbitnya beleid Peraturan Menteri Hukum (Permenkum) Nomor...
Pidato Presiden Tempatkan Pendidikan, Kesehatan, dan Keadilan Sosial Fondasi Utama Indonesia Emas 2045
15-08-2025 / KOMISI X
PARLEMENTARIA, Jakarta – Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menyampaikan apresiasi yang tinggi atas pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia,...
Pendidikan Tulang Punggung Utama Menuju Indonesia Emas 2045
15-08-2025 / KOMISI X
PARLEMENTARIA, Jakarta – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, mengingatkan bahwa pendidikan adalah tulang punggung utama dalam...