Pasal Penyerangan Terhadap Martabat Presiden Hendaknya Tak Tabrak Putusan MK

09-06-2021 / KOMISI III
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani saat rapat kerja Komisi III DPR RI dengan Menkumham Yasonna H. Laoly beserta jajaran di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (9/6/2021). Foto: Eot/Man

 

Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menjelaskan, pasal penyerangan terhadap martabat presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) layak dipertahankan. Dia beralasan, banyak negara yang tradisi demokrasinya sudah lama pun tetap menerapkan kriminalisasi bagi penghina atau penyerangan kepada kepala negara yang menjabat. Namun dia berargumen agar pasal ini diformulasikan supaya tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

 

"Artinya adalah wajar kalau di dalam KUHP kita berdasarkan benchmarking, pasal terhadap penghinaan presiden dan wakil presiden, atau penyerangan terhadap martabat presiden dan wakil presiden itu dipertahankan. Tantangan kita adalah bagaimana ini tidak menabrak putusan Mahkamah Konstitusi," papar Arsul saat rapat kerja Komisi III DPR RI dengan Menkumham Yasonna H. Laoly beserta jajaran di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (9/6/2021).

 

Dia pun mengungkapkan, di periode lalu, sebagai upaya tidak menabrak putusan MK, ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama sifat deliknya diubah, dari delik biasa ke delik aduan. Kedua, diberi pengecualian pada ayat berikutnya, yang bukan merupakan penyerangan itu apa, dalam rangka terhadap kritik kebijakan atau pembelaan diri. Dan ketiga, supaya menghindarkan potensi kesewenang-wenangan penegak hukum, maka pidananya harus diturunkan, harus di bawah lima tahun.

 

"Itu pun kita masih dalam rangka merespon terhadap kekhawatiran masyarakat, seperti yang disampaikan Pak Habiburokhman perlu ada penjelasan lagi terhadap pasal 218 dan 219 KUHP. Jadi hemat saya pasal ini tetap perlu dipertahankan, tetapi dengan formulasi yang baik yang hati-hati, yang menutup potensi untuk disalahgunakan seminimal mungkin," jelas Arsul.

 

Dia pun menjabarkan, agar tidak hanya melihat sisi pandang internal, tapi juga perlu melakukan benchmarking atau tolok ukur, tentang hukum yang terkait penyerangan pemegang kekuasaan, khusunya kepala negara di negara-negara lain.

 

"Saya melihat bagitu banyak negara-negara demokrasi seperti kita, bahkan yang tradisi demokrasinya lebih lama dari kita, tetap mempertahankan less majesty, ketentuan-ketentuan pidana tentang penyerangan terhadap harkat dan matabat pemegang kekuasaan, khususnya kepala negara. Contoh kita bisa baca di pasal 115 KUHP-nya Denmark, di sana juga ada ancaman hukuman pidana bahkan sampai 4 tahun. Pasal 101 KUHP Islandia, itu juga ancamanya 4 tahun," ungkap Arsul. (eko/es)

BERITA TERKAIT
Sampaikan Keterangan Terkait Permohonan Uji Materiil di MK, DPR Nilai UU KPK dan Tipikor Tetap Konstitusional
21-08-2025 / KOMISI III
PARLEMENTARIA, Jakarta – DPR RI menegaskan bahwa ketentuan mengenai obstruction of justice atau perbuatan menghalangi proses hukum merupakan bagian penting...
Habiburokhman Yakin Calon Hakim MK Perkuat Peran Mahkamah Konstitusi
21-08-2025 / KOMISI III
PARLEMENTARIA, Jakarta – Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menilai terpilihnya Inosensius Samsul sebagai Hakim Konstitusi merupakan langkah yang tepat....
DPR Tegaskan Guru Bukan Beban Negara, Usia Pensiun Tetap Ideal
21-08-2025 / KOMISI III
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menegaskan bahwa guru merupakan aset bangsa yang harus terus didorong...
Aparat Diminta Tindak Tegas Pelaku TPPO Anak yang Dieksploitasi Jadi LC
20-08-2025 / KOMISI III
PARLEMENTARIA, Jakarta — Anggota Komisi III DPR RI, Gilang Dhielafararez merasa prihatin sekaligus geram menanggapi kasus eksploitasi seksual dan tindak...