Keluarga Harus Antisipasi Anak Terlibat Aksi Terorisme
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ace Hasan Syadzily (F-PG)/Foto:Arief/Iw
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily mengatakan, pelibatan anak dalam aksi terorisme diakibatkan karena kehidupan keluarga yang salah tafsir terhadap agama. Menurutnya, sulit untuk menjauhkan anak dari peran keluarga dan orang tua yang memberikan pemahaman agama yang dianggap salah.
Ace menegaskan, seharusnya perlindungan anak ada pada keluarga. Namun ternyata, diantara anak-anak yang terlibat aksi terorisme itu menolak belajar Pendidikan Moral Pancasila. Setiap kali masuk pelajaran, malah keluar. Menurutnya, ini bisa menjadi indikasi masih ada orang-orang yang anti pada dasar negara Pancasila.
“Pembinaan anak harusnya menjadi kewajiban keluaga, lalu di sekolah dan ketiga di lingkungan masing-masing. Ini memiliki tanggungjawab yang berbeda-beda bagi masing-masing, baik sekolah, keluarga dan lingkungan terkecil, RT atau RW. Ketiganya difasilitasi oleh pemerintah, supaya tercipta keluarga yang bisa memahami agama secara toleran, serta diberikan pendidikan sesuai prinsip Islam yang rakhmatan lil-alamiin,” kata Ace di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (22/5/2018).
Kaitannya dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, Ace melihat UU ini tidak bisa menjangkau hal-hal yang sangat privat (keluarga). Bagaimana institusi sekolah atau pemerintah bisa menjangkau ranah keluarga. Untuk itu, pembinaannya harus banyak dilakukan di luar keluarga, misalnya sekolah.
“Kalau ditemukan pemahaman agama anak cenderung radikal, maka sekolah punya tanggung jawab untuk membinanya dan ditelusuri lebih lanjut,” jelas Pimpinan Komisi VIII dari Partai Golkar ini.
Namun Ace mengakui, dalam kasus bom Surabaya, justru orang tua si anak yang merupakan tokoh organisasi terorisme, sehingga institusi apapun tidak bisa terlalu jauh masuk ranah keluarga. Menurutnya, aparat seperti Badan Intelijen Negara (BIN) atau Densus 88 bisa mendeteksi bibit radikal dan melacak aktivitas jaringan teroris.
“Jaringan terorisme cukup mengakar, mudah sekali dideteksi. Kecenderungan orang intoleran mudah disusupi bibit radikalisme. Hal-hal seperti ini bisa dideteksi dengan cara melihat perilaku, relasinya, serta menjadi anggota organisasi apa. Juga bisa dilihat dari cara berpakaian, kendati itu bukan satu-satunya,” pungkas Ace.
Ace juga menyayangkan salah satu Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Kemenag yang terlibat dalam tindakan terorisme. Padahal seharusnya Kemenag menjadi pilar utama bagi tegaknya NKRI, tapi ternyata disusupi oleh paham-paham radikal. Di instansi pemerintah, perlu adanya kontrol terhadap orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan yang mencurigakan.
“Itu salah satu hal yang menjadikan pemerintah kecolongan. Harusnya pembinaan keagamaan dilakukan oleh unit kerja di Pemerintah. Dan sejak awal mestinya sudah bisa dideteksi setiap unit kerja yang ada,” ungkap politisi dapil Banten ini. (mp/sf)