Kaltara Belum Miliki Rumah Aman

Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid ssat membeikan keterangan kepada wartawan. Foto:Eka Hindra/iw
Kota Tarakan di Kalimantan Utara (Kaltara) sampai kini belum memiliki rumah aman. Padahal, kasus-kasus kekerasan begitu tinggi terjadi. Setidaknya, ditemukan 34 kasus kekerasan pada Januari hingga Juni 2017. Kasus kekerasan yang terjadi didominasi kekerasan rumah tangga dan seksual.
Para korban kekerasan tersebut biasanya langsung dirujuk ke Jakarta, karena Kaltara belum ada rumah aman untuk merehabilitasi para korban kekerasan. Demikian terungkap dalam pertemuan Tim Kunjungan Kerja (Kunker) Komisi VIII DPR RI dengan Sekda, Wali Kota, Ketua DPRD, Kakanwil Agama, Kadinsos, dan Kadinas PP dan PA yang digelar di Ruang Serbaguna, Gedung Pemerintah Kota Tarakan, Selasa (31/10/2017).
Wakil Ketua Komisi VIII DPR yang memimpin Tim Kunker ini Sodik Mudjahid mengatakan, fasilitas yang dibutuhkan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memang sudah ada item anggarannya di APBN melalui Kementerian Sosial. “Tinggal alokasinya, apakah Provinsi Kaltara kebagian atau tidak. Ini semua tergantung lobi dari gubernur atau perwakilannya," kata Sodik.
Anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Amanat Nasional Desy Ratnasari mengatakan, bahwa untuk Provinsi Kaltara termasuk Kota Tarakan, memang sampai saat ini tidak memiliki rumah aman (safe house) untuk korban kekerasan anak dan perempuan. Padahal, untuk melakukan rehabilitasi akan lebih mudah dilakukan di rumah aman. Selain itu, rehabilitasi lebih terfokus untuk mengontrol trauma healing dengan terapi psikologis.
“Keamanan dalam diri si korban bisa dikontrol agar terkendali,” imbuh Desy. Di Kota Tarakan sendiri belum ada dan tentu ini menjadi perhatian Komisi VIII. Ia berharap segera dibangun rumah aman atau setidaknya tempat khusus untuk para korban, lanjutnya.
Siti Hadijah salah seorang staf Analis Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga mengakui, Kaltara memang belum memiliki tempat rehabilitasi untuk korban kekerasan.
“Pada saat kami menangani masalah anak, bingung mau dibawa ke mana korban ini. Dan kalau ditangani sendiri tidak optimal,” imbuh Hadijah.
Selama ini bila kasusnya cukup serius, maka dinas setempat langsung membawa korban ke Jakarta. “Jauh sekali kalau korban harus dibawa ke Jakarta. Pastinya kami tidak bisa mengontrol lagi dan bagaimana perkembangan selanjutnya,” akunya. (hr/sc).