RUU PKS Isi Kekosongan Yuridis terhadap Kekerasan Seksual
11-09-2017 /
KOMISI VIII
Ketua Komisi VIII DPR RI Ali Taher mengungkapkan hal itu saat menyampaikan pengantar pembahasan RUU PKS pada rapat kerja dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yambise, Senin (11/9/2017). Kekerasan terhadap anak, kata Ali, seperti gunung es yang terus meningkat grafiknya.
“Saat ini kita dihadapkan dengan kondisi kompleksitas permasalahan perempuan dan anak. Kekerasan terhadap perempuan dan anak menempati urutan pertama. Bahkan saat ini Indonesia berada pada posisi darurat kekerasan. Kasus pedopilia di Indonesia tertinggi di Asia. Dalam kurun waktu yang sangat singkat terjadi peningkatan yang sangat signifikan,” paparnya.
Ali mengemukakan data yang menunjukkan bahwa empat tahun terakhir (2014-2017), kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai lebih 50% dari seluruh kasus kekerasan yang ada. Pada 2014 sebesar 52% dari 4.638 kasus merupakan kasus kekerasan terhadap anak. Pada 2015 sebesar 58% dari 6.726 kasus kekerasan. Pada Januari-April 2016 tercatat 48% kekeresan seksual dari 339 laporan kasus kekerasan yang masuk. 60% kekerasan pada 2016 dilakukan oleh anak di bawah 17 tahun.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menempati kasus yang paling banyak diadukan, yaitu 903 kasus atau 88% dari total 1.022 kasus yang masuk. Untuk kekerasan di ranah rumah tangga dan relasi personal, kekrasan terhadap istri menempati peringkat pertama, 5.784 kasus (56%) disusul kekerasan dalam pacaran 171 kasus (21%).
Di ranah rumah tangga dan personal, lanjut Ali lagi, persontase tertinggi adalah kekerasan fisik 42% dari 4.281 kasus. Diikuti kekerasan seksual (31%) dari 3.495 kasus, kekerasan psikis 14% (1.451 kasus), dan kekerasan ekonomi 10% (978 kasus). Untuk KDRT dan personal, perkosaan menempati posisi tertinggi 1.389 kasus diikuti pencabulan 1.266 kasus.
Politisi PAN ini juga menambahkan, masyarakat ternyata lebih banyak mengadu ke sebuah yayasan atau LSM untuk mengadukan nasib kekerasan yang dialaminya. Lembaga negara yang resmi untuk perlindungan anak dan perempuan belum menjadi rujukan utama masyarakat. Ini persoalan serius yang harus dicermati.
“Negara harus mengedepankan kualitas layanan yang ramah pada korban. Petugas juga harus memahami isu dan prinsip layanan yang memulihkan korban dibanding upaya-upaya formalisme kelembagaan,” tandas Ali. Belum tersedianya mekanisme pemulihan dalam makna luas bagi korban juga jadi perhatian selain juga mekanisme untuk memastikan pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi. (mh,mp)/foto:azka/iw.