Legislator Minta Insan Perfilman Bersatu Tanggapi DNI
Anggota Komisi X DPR, Krisna Mukti meminta seluruh insan perfilman, yang terdiri dari berbagai stakeholder, agar menyatukan suara dalam menghadapi rencana dibukanya Daftar Negatif Investasi (DNI) untuk perfilman. Krisna menilai, masih ada pro kontra diantara sesama insan perfilman.
Hal itu ia sampaikan saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) antara Panja Perfilman Komisi X DPR dengan Ketua Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Syafruddin beserta jajaran di Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Rabu (17/02/2016). Agenda utama rapat ini adalah mendengarkan aspirasi GPBSI terkait UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.
“Dari insan perfilman sendiri masih ada perbedaaan pandangan dan sikap, antara yang pro kontra terhadap DNI. Persatuan dan kesatuan diantara stakeholder perfilman ini masih sangat kurang. Apakah ada cara untuk menyatukan di insan perfilman ini dalam menyambut DNI,” kata Krisna seolah bertanya.
Politisi F-PKB itu menambahkan, perlu dibuat persatuan dan kesatuan yang membuat satu suara bulat dari insan perfilman terkait DNI. Ia mencontohkan salah satu sineas Indonesia, Mira Lesmana, yang sangat mendukung dibukanya DNI. Mira menilai, keterbukaan film untuk berkompetisi.
“Ini perlu ada persatuan dan kesatuan pandangan dari para insan perfilman. Kalau insan perfilman sudah satu suara, ayo kita perjuangkan apa yang perlu dilakukan terhadap DNI ini, apakah menolak, apakah menerima, atau menerima yang bagaimana,” imbuh politisi asal dapil Jawa Barat itu.
Sebelumnya, Djonny mengatakan bahwa insan perfilman yang terdiri dari berbagai stakeholder, punya kepentingan dan ego masing-masing sehingga sulit untuk disatukan. Namun ia menegaskan, pihaknya menolak secara tegas dibukanya DNI untuk film.
Menurutnya, dengan dibukanya DNI, akan berdampak pada bisnis bioskop dan perfilman nasional secara keseluruhan dari beberapa sisi. Dari sisi kebudayaan, Djonny menilai, masuknya pengusaha bioskop dan distributor asing akan cenderung memasukkan film dan budaya asing ketimbang film dalam negeri. Selain itu, usaha bioskop di daerah bisa hancur akibat masuknya bioskop asing. (sf) foto: azka/parle/hr.