Minat Profesi Penulis Masih Rendah
Pertemuan antara Tim Panja Rancangan Undang-undang Sistem Perbukuan dengan Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta mengungkap bahwa minat seseorang untuk menggeluti profesi penulis masih rendah. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, jumlah penulis di Indonesia masih relatif sedikit dibanding jumlah penduduknya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Kharis Almasyahri menduga, minimnya minat untuk menjadi penulis, diantaranya diakibatkan oleh kecilnya royalti dan pembajakan yang masif. Demikian ia ungkapkan di kantor Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi DI Yogyakarta, Jumat (4/12/15) lalu.
“Royalti penulis buku itu rendah sekali. Ini dikarenakan jumlah oplah cetak dari penerbit untuk buku-buku itu sangat kecil. Kalau oplah cetaknya kecil, berarti royalti kecil. Saya kira ini merupakan suatu permasalahan yang cukup complicated, sehingga harus diurai satu per satu dalam UU Sistem Perbukuan,” kata Kharis.’
Adanya pajak royalti yang dibebankan negara kepada penulis semakin memberatkan. Pajak royalti yang mencapai 15 persen, hampir sama dengan pajak penghasilan, Kharis menilai ini cukup memberatkan bagi penulis.
“Munculnya pajak royalti terhadap penulis ini sebenarnya sangat kecil bagi negara, tapi bagi penulis ini sangat berarti. Saya kira mungkin pajak royalty juga perlu dipertimbangkan untuk dihapuskan. Khusus untuk penulis, agar gairah penulis buku itu menjadi lebih baik,” harap politisi F-PKS itu.
Imbasnya, ada penulis Tanah Air yang menjual karyanya untuk diterbitkan di negara tetangga. Ketika di Indonesia hanya diterbitkan sebanyak 2-3 ribu eksemplar, sementara di Malaysia, misalnya, diterbitkan sebanyak 20 ribu eksemplar.
“Sebenernya, royaltinya sama, berkisar 10-15 persen. Tapi kalau jumlah cetaknya lebih banyak, ya pasti lebih banyak royalti di luar negeri,” analisa Kharis.
Sementara soal pembajakan, Kharis tak memungkiri bahwa pembajakan sejak jaman dulu kala sudah ada. Tentunya, ini merupakan sesuatu yang harus diberantas. Tapi kalaupun belum bisa diberantas 100 persen, namun dengan dukungan toko buku yang lebih banyak menjual buku legal, yang berdampak pada penerbit dan penulis untuk mendapat royalti yang lebih mamadai.
“Ketika royalti sudah menjadi sesuatu hal yang menjanjikan, maka orang akan berlomba menuju ke sana. Namun, karena tidak menjanjikan, ya jadi malas,” imbuh politisi asal dapil Jawa Tengah itu.
Sementara itu sebelumnya, perwakilan Forum Lingkar Pena, Muji, meminta agar pajak royalti yang dibebankan kepada penulis agar dihapuskan. Pasalnya, hal ini sangat berpengaruh terhadap gairah penulis untuk melahirkan karya-karyanya.
“Besar pajak royalty untuk penulis di kisaran 15 persen. Tapi saat ini kita sedang fokus untuk meningkatkan gairah menulis. Mungkin ada kebijakan pengurangan pajak royalti, bahkan kalau bisa malah dihilangkan. Sehingga penulis dapat lebih bergairah untuk menulis,” kata Muji, yang juga mengapresiasi aturan pengurangan harga kertas, sehingga harga buku bisa lebih murah.
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Kadisdikpora) Provinsi DI Yogyakarta, Baskara Aji, juga meminta agar dibuat kebijakan regenerasi terhadap penulis. Ia menyarankan agar penerbit dapat memberikan kesempatan kepada penulis pemula untuk menerima dan menerbitkan karyanya.
“Karena penulis pemula untuk mencari penerbit sangat sulit. Setiap menulis, hanya dilihat nama penulisnya. Kalau namanya kurang terkenal, tidak laku di penerbit. Mungkin perlu diatur kuota untuk kesempatan kepada penulis pemula menerbitkan tulisannya,” saran Baskara.
Termasuk, lanjut Baskara, Pemerintah mengadakan kursus kepada penulis. Pasalnya, jika tidak ada kursus, kualitas tulisan menjadi berkurang. (sf), foto : sofyan efendi/parle/hr.