Kemandirian Fiskal Daerah Masih Lemah, Regulasi Dinilai Belum Tegas

Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin di ruang rapat Komisi II DPR RI, Senayan Jakarta, Senin (25/8/2025). Foto : Munchen/Andri
PARLEMENTARIA, Jakarta - Kemandirian fiskal daerah masih menjadi persoalan serius yang dikhawatirkan bagi keberlanjutan pembangunan di Indonesia. Dalam rapat kerja Komisi II DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri serta seluruh gubernur, bupati, dan wali kota se-Indonesia secara virtual, persoalan lemahnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dibanding transfer pusat kembali menjadi sorotan.
Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin menekankan bahwa Kementerian Dalam Negeri sebagai institusi yang memiliki kewenangan pembinaan dan pengawasan daerah, tidak bisa lepas tangan dari kondisi tersebut. Menurutnya, problem regulasi dan lemahnya eksekutif review menjadi salah satu penyebab ketidaksinkronan kebijakan fiskal di daerah.
“Kalau berbicara soal kemandirian fiskal, maka yang paling awal harus diperhatikan adalah regulasi. Regulasi ini yang mengatur dan mengendalikan, sehingga Kemendagri harus memastikan seluruh produk hukum daerah sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari,” jelas Khozin saat wawancara bersama tim Parlementaria, Senin, (26/8/2025).
Ia mencontohkan polemik penerapan pajak daerah di beberapa wilayah yang berawal dari perbedaan penerapan tarif. Dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD), daerah diberi ruang untuk menggunakan multi tarif maupun single tarif. Namun, dalam praktiknya, arahan Kemendagri seringkali membuat daerah menggunakan single tarif yang justru menimbulkan lonjakan beban di masyarakat.
“Padahal di undang-undang dibolehkan multi tarif. Kalau kemudian dipaksakan single tarif, ya pasti ada gejolak. Kejadian ini sempat muncul di Jombang, Pati, hingga Bone, dan menimbulkan protes di masyarakat. Ini artinya ada yang abai dalam proses eksekutif review,” tambahnya.
Khozin menegaskan, sebelum peraturan daerah (perda) disahkan, seharusnya sudah melalui mekanisme fasilitasi dan review dari Kemendagri maupun gubernur. Tujuannya untuk memastikan perda tidak bertentangan dengan regulasi yang lebih tinggi, tidak diskriminatif, dan memenuhi unsur partisipasi publik. Namun, jika praktik pengawasan ini tidak berjalan maksimal, maka wajar jika timbul masalah di lapangan.
Lebih jauh, Komisi II DPR RI juga menyoroti lemahnya kemandirian fiskal daerah yang selama ini masih sangat bergantung pada dana transfer dari pusat. Dari lebih dari 500 daerah, hanya sekitar 10–14 daerah yang memiliki rasio PAD lebih besar daripada transfer pusat. Sisanya, masih banyak daerah yang mengandalkan dana pusat untuk membiayai pembangunan.
“Kondisi ini jelas asimetris. Kalau PAD jauh lebih kecil daripada dana transfer, artinya daerah tidak memiliki kemandirian fiskal yang kuat. Kalau dibiarkan, ini bisa menjadi bom waktu bagi pembangunan,” ujar Khozin.
Sebagai solusi, DPR mendorong adanya penguatan regulasi melalui pembahasan RUU tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Menurut Khozin, regulasi baru tersebut dapat menjadi alternatif untuk memperkuat fiskal daerah melalui optimalisasi aset dan BUMD.
“Daerah harus didorong memanfaatkan potensi aset yang ada, baik melalui BUMD maupun pola kerja sama lainnya. Itu bisa jadi solusi jangka panjang agar perlahan daerah punya kemandirian fiskal,” pungkasnya. (bit/aha)