Selesaikan Konflik Agraria Lewat Penataan Kawasan & One Map Policy

Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Heryawan saat mengikuti kunjungan kerja di Kantor BPN Aceh, Jumat (25/7/2025). Foto: Andri/vel
PARLEMENTARIA, Banda Aceh – Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Heryawan yang akrab dipanggil dengan sebutan Aher, menyoroti persoalan mendasar dalam proses sertifikasi lahan yang masih terhambat di berbagai daerah. Ia menegaskan pentingnya percepatan sertifikasi tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), mengingat hingga kini baru sekitar 50 persen lahan, baik milik masyarakat, negara, maupun korporasi yang berhasil disertifikatkan.
Menurut Ahmad Heryawan, lambannya proses ini disebabkan oleh kompleksitas tumpang tindih tata ruang, terutama antara lahan masyarakat dengan kawasan hutan negara. "Hal ini telah menimbulkan berbagai konflik, baik antara masyarakat dengan negara, masyarakat dengan korporasi, hingga antar instansi pemerintah," kata Ahmad Heryawan dalam kunjungan kerja di Kantor BPN Aceh, Jumat (25/7/2025).
"Banyak kawasan desa yang secara administratif telah disahkan, ternyata masuk dalam kawasan hutan berdasarkan SK yang juga diterbitkan negara. Begitu pula dengan lahan transmigrasi yang kini dinyatakan berada dalam kawasan kehutanan," ungkap Heryawan.
Ia menambahkan bahwa lebih dari 25 ribu desa di Indonesia beririsan langsung dengan kawasan hutan, menciptakan konflik hukum dan administratif yang menghambat proses sertifikasi serta berpotensi merugikan negara karena tertundanya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sertifikasi lahan.
Untuk mengatasi persoalan ini, Ahmad Heryawan mengusulkan perluasan tugas dan keanggotaan Satuan Tugas (Satgas) Penataan Kehutanan agar melibatkan berbagai elemen terkait. Ia menekankan bahwa solusi penyelesaian tidak bisa dilakukan secara sektoral, melainkan memerlukan pendekatan kolaboratif lintas kementerian dan lembaga.
Satgas yang diusulkan mencakup perwakilan dari: Kementerian Pertahanan dan Keamanan, Kejaksaan Agung, ATR/BPN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Desa dan Transmigrasi, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, hingga Desa, dan unsur terkait lainnya.
"Tim besar ini harus memetakan persoalan dengan rinci dan mencari solusi yang permanen, sehingga tidak ada lagi konflik agraria di kemudian hari," ujar Heryawan.
Heryawan menegaskan bahwa penataan kawasan hutan merupakan langkah penting untuk menjamin keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Ia juga menyoroti bahwa banyak warga yang telah menghuni kawasan tertentu selama puluhan tahun kini dihadapkan pada konflik lahan karena baru belakangan ini dilakukan penataan formal.
"Kita sepakat penataan hutan sangat penting. Tapi jangan sampai justru merugikan masyarakat yang telah lama tinggal di sana," tuturnya.
Sebagai solusi jangka panjang, Ahmad Heryawan mendorong implementasi penuh One Map Policy, kebijakan satu peta nasional yang menyatukan semua data tata ruang dari berbagai kementerian dan lembaga dalam satu sistem peta yang terintegrasi dan sinkron.
"Dengan kebijakan satu peta, insyaallah konflik tata ruang dan agraria di negeri ini akan selesai. Kita hanya perlu satu peta untuk seluruh tata ruang," tegasnya. (man/aha)