Moratorium IKN Tak Diatur dalam UU, Revisi Rencana Induk Lebih Relevan

Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Irawan. Foto: dok/vel
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Irawan, menegaskan bahwa wacana moratorium pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) tidak memiliki dasar hukum dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Hal ini disampaikannya menanggapi isu penghentian sementara pembangunan IKN karena keterbatasan anggaran negara.
"Moratorium itu tidak diatur dan tidak ada dalam UU IKN. Kalau kita ingin menyesuaikan pembangunan dengan kemampuan fiskal, maka yang perlu disesuaikan adalah rencana induknya, bukan diberhentikan," ujar Ahmad Irawan kepada Parlementaria, di Jakarta, Jumat (25/7/2025).
Menurutnya, moratorium justru akan berdampak buruk bagi kesinambungan pembangunan, mengingat infrastruktur yang sudah dibangun bisa terbengkalai. Ia menekankan bahwa UU IKN merupakan hasil konsensus politik yang bersifat mengikat bagi DPR maupun Presiden.
"Kalau kita tetap berpegang pada UU IKN, maka tidak ada alasan untuk mengabaikan pembangunan IKN. Ini adalah keputusan politik yang telah menjadi hukum," tegas Politisi Fraksi Partai Golkar ini.
Ahmad Irawan menjelaskan bahwa jika ingin dilakukan penyesuaian pembangunan, maka Otorita IKN perlu berkonsultasi dengan DPR RI, sebagaimana diatur dalam regulasi. Konsultasi itu akan mencakup dua aspek penting, yakni tahapan pembangunan dan skema pendanaan.
Dalam rapat paripurna yang baru digelar, kata Ahmad, pimpinan DPR RI menyampaikan bahwa Otorita IKN telah mengajukan permintaan konsultasi. Ia menyebutkan bahwa otorita tersebut mengusulkan tambahan anggaran sekitar Rp16 triliun pada tahun mendatang.
"Untuk sekarang, pagu indikatif sekitar Rp6 triliun. Usulan untuk tahun depan sekitar Rp16 triliun. Itu yang sedang dikaji lebih lanjut," ungkapnya.
Ahmad Irawan menegaskan optimismenya bahwa pembangunan IKN tetap akan berjalan dan pemindahan ibu kota negara tetap akan terjadi sesuai amanat UU. Ia menilai penyesuaian yang dilakukan bukan berarti menghentikan proses pembangunan, melainkan memperkuat pelaksanaan yang realistis dan terukur berdasarkan kondisi fiskal negara. (tn/rdn)