Dari CONEFO ke Rumah Rakyat: Gagasan Besar Arsitektur Gedung Nusantara DPR
Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana, saat membuka agenda Seminar Nasional bertajuk "Dari CONEFO menjadi Rumah Rakyat: Gedung DPR RI sebagai Cagar Budaya Nasional” di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Rabu (23/7/2025). Foto : Ata/Andri
PARLEMENTARIA, Jakarta - Gedung Nusantara DPR RI ialah bangunan yang lahir dari mimpi besar menghadirkan tatanan dunia yang berkeadilan. Dibalik atap ikoniknya yang menyerupai helaian sayap, tersimpan cerita tentang diplomasi, solidaritas global, dan perjuangan melawan ketidakadilan.
Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana, mengungkapkan bahwa Gedung Nusantara DPR RI bukan hanya sekadar bangunan fisik, melainkan simbol dari cita-cita global yang digagas oleh Presiden Soekarno pada masa-masa krusial pascakemerdekaan. Demikian dirinya sampaikan saat membuka agenda Seminar Nasional bertajuk "Dari CONEFO menjadi Rumah Rakyat: Gedung DPR RI sebagai Cagar Budaya Nasional” di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Rabu (23/7/2025).
Sebagai informasi, latar belakang lahirnya Gedung Nusantara ini tidak bisa dilepaskan dari semangat Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung. Kala itu, Indonesia bersama negara-negara lain seperti India dan Sri Lanka berinisiatif menyatukan suara bangsa-bangsa di Asia dan Afrika yang sedang berusaha merebut kemerdekaan dari cengkeraman kolonialisme Barat lewat pergelaran Proyek CONEFO (Conference of the New Emerging Forces)
“Setelah kita merdeka tahun 1945, masih banyak bangsa-bangsa lain di Asia dan Afrika yang belum merdeka. Indonesia yang sudah lebih dulu merdeka merasa terpanggil untuk memikirkan mereka. Maka, dari semangat itulah lahir Konferensi Asia-Afrika dan kemudian berkembang menjadi gagasan CONEFO,” tutur Bonnie.
Konferensi ini dirancang bukan menjadi sekadar forum, melainkan manifestasi dari cita-cita untuk menciptakan dunia ketiga yang mandiri, seimbang, dan tidak tunduk pada dominasi dua blok besar, Blok Barat dan Blok Timur, yang kala itu membelah dunia. Namun, peristiwa politik pada tahun 1965 mengubur impian itu sebelum sempat diwujudkan.
“Saya ingin tekankan, kita memahami gedung ini bukan sekadar bangunan mati, tapi ada mimpi besar di baliknya. Mimpi tentang tatanan dunia yang lebih berkeadilan dan setara," terangnya.
Jaga Warisan, Hidupkan Gagasan
Sebagai sejahrawan, menurutnya, meski fungsi telah berubah, semangat di balik pembangunan gedung ini seharusnya tetap menyala. Jika dahulu Bung Karno memimpikan dunia tanpa penindasan, maka kini, seharusnya bisa menjadi rumah rakyat, yang mana para wakil rakyat menyuarakan kepentingan rakyat yang terpinggirkan.
"Rumah rakyat mestinya meneruskan gagasan itu. Kalau dulu Bung Karno memimpikan dunia yang tanpa penindasan, maka hari ini parlemen harus menjadi tempat suara-suara yang anti penindasan terhadap rakyat," jelas Bonnie.
Ia pun menyadari tantangan yang dihadapi bukan hanya menjaga nilai sejarah, namun juga bagaimana ide besar itu terus menjadi sumber inspirasi. Apalagi, tuturnya, desain bangunan yang telah berusia lebih dari 50 tahun ini masih diakui keunggulannya oleh para arsitek.
"Desainnya sangat futuristik. Dibangun tahun 60-an, tapi sampai sekarang masih menjadi perbincangan arsitektur. Ini bukti bahwa arsitekturnya membaca masa depan," ungkapnya.
Soal bentuk arsitekturnya kepakan sayap, Bonnie menyikapinya dengan terbuka. Ia menjelaskan bahwa penafsiran tersebut tidak pernah muncul dalam desain awal, namun lahir dari diskusi publik sebagai interpretasi kreatif. Dengan demikian, gedung ini tidak hanya berdiri sebagai penanda fisik, tetapi juga menjadi ruang yang hidup, yang mana membuka ruang narasi, tafsir, dan ide-ide bertumbuh dan berkembang.
“Itulah tafsir (arsitektur) yang banyak muncul tapi dari sudut pandang postmodernisme, justru semakin banyak tafsir, semakin bagus karena desain yang baik memang harus memantik diskusi dan perbincangan,” katanya.
Menutup pernyataannya, menjaga semangat tersebut di tengah tantangan demokrasi modern bukan perkara mudah. Sebab itu, Bonnie menilai penting bagi seluruh pemangku kepentingan untuk melihat gedung DPR bukan sekadar tempat kerja para legislator, akan tetapi sebagai monumen peradaban dan simbol perjuangan bangsa.
Dengan kata lain, ucapnya, warisan sejarah bukan hanya untuk dikenang, namun dilindungi dan ditumbuhkan. Dalam konteks itu, dirinya menyerukan pentingnya edukasi parlemen kepada publik, terutama generasi muda, agar memahami bahwa Gedung Nusantara DPR bukan sekadar simbol kekuasaan, tapi juga manifestasi dari idealisme kebangsaan.
“Idealnya, gedung ini bukan hanya diisi oleh rutinitas politik dan legislasi. Tapi juga menjadi sumber semangat untuk menciptakan sistem politik yang membebaskan, yang adil, dan berpihak pada rakyat,” tandas Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu.
Perlu diketahui, Gedung Nusantara, dengan kubah hijaunya yang khas, pertama kali dibangun pada tahun 1965 dan selesai pada tahun 1968. Dirancang oleh arsitek Friedrich Silaban dan RM Soedarsono, bangunannya kini menjadi pusat kegiatan lembaga legislatif dan dikenal luas sebagai simbol utama demokrasi Indonesia.
Sebagaimana mengutip sabda Bung Karno bahwa Gedung Nusantara mencerminkan jati diri dan kekayaan budaya bangsa. Maka tidak heran hingga kini, Gedung Nusantara tetap berdiri kokoh dan tak lekang oleh zaman yang silih berganti. (um/aha)