Digitalisasi Sertifikasi Tanah di NTB Terkendala Infrastruktur dan Literasi Masyarakat

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, dalam kunjungan kerja pengawasan pertanahan dan tata ruang di Kota Lombok, NTB, Rabu (28/5/2025). Foto: Balggys/vel
PARLEMENTARIA, Lombok - Digitalisasi dalam tata kelola pertanahan masih menemui tantangan serius di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, dalam kunjungan kerja pengawasan pertanahan dan tata ruang di Kota Lombok, NTB, Rabu (28/5/2025). Selama pertemuan berlangsung, ia menyoroti kompleksitas permasalahan yang tidak hanya bersifat struktural, tetapi juga menyentuh aspek digitalisasi yang belum merata.
Dede mengungkapkan, sejumlah isu utama yang menghambat investasi dan kepastian hukum pertanahan di NTB antara lain tumpang tindih klaim lahan, pembebasan tanah yang belum rampung, serta aktivitas spekulatif yang merajalela, khususnya di kawasan wisata seperti Mandalika, Senggigi, dan Gili Trawangan.
Namun di tengah upaya reformasi agraria, digitalisasi pertanahan melalui sertifikasi elektronik ternyata belum sepenuhnya menjawab tantangan di lapangan. "Saya lihat di sini dari sisi digitalisasi untuk sertifikasi elektronik, pada dasarnya belum semua masyarakat memahami konsep digitalisasi. Infrastruktur digital pun belum memadai," ujar Dede.
Ketimpangan pemahaman dan keterbatasan akses teknologi di masyarakat membuat implementasi sertifikasi digital masih terhambat. Padahal, Kementerian ATR/BPN telah mencatat peningkatan signifikan dalam Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan integrasi data lahan ke dalam sistem digital. Namun proses ini belum menyentuh seluruh wilayah dan lapisan masyarakat secara merata.
Politisi Fraksi Partai Demokrat itu juga menyoroti keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan pendanaan yang menyebabkan penanganan kasus sengketa pertanahan berjalan sangat lambat. “Dalam satu tahun, satu kasus gugatan pertanahan hanya bisa diselesaikan dua hingga tiga saja,” ujarnya. Hal ini memperparah kompleksitas di wilayah yang bersinggungan dengan status kawasan hutan dan hak pengelolaan lahan (HPL), seperti Gili Trawangan, yang statusnya masih simpang siur antara kawasan kehutanan dan aset pemerintah provinsi.
Gubernur NTB yang turut hadir dalam kunjungan itu pun mengakui banyaknya praktik spekulasi lahan yang menyebabkan stagnasi pembangunan. Banyak lahan yang sudah dikavling namun tidak dibangun karena investor batal masuk, hingga akhirnya diklaim sebagai tanah terlantar.
Digitalisasi seharusnya dapat menjadi solusi bagi tumpang tindih data dan konflik kepemilikan. Namun jika tidak didukung dengan peningkatan literasi masyarakat dan pemerataan infrastruktur digital, maka teknologi justru berpotensi menjadi alat baru yang memperkuat ketimpangan dalam tata kelola agraria.
Menutup rangkaian agenda kunjungan tersebut, Dede berharap kunjungan kerja ini menjadi titik evaluasi menyeluruh bagi pemerintah pusat dan daerah untuk menyelaraskan kebijakan digitalisasi pertanahan dengan realitas sosial dan infrastruktur yang ada di daerah. Sebab, tanpa pendekatan yang holistik, digitalisasi bisa menjadi janji kosong di tengah konflik yang terus berlarut. (Gys/um)