Reformasi Perpajakan Untuk Tingkatkan Penerimaan

07-10-2021 / KOMISI XI
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan. Foto: Ist/nvl

 

Skema reformasi perpajakan harus segera dirancang sebagai solusi meningkatkan penerimaan perpajakan. Tidak hanya itu, reformasi juga untuk meningkatkan rasio perpajakan (tax ratio), mengurangi defisit APBN dan memperkecil rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

 

Pandangan ini disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan kepada Parlementaria, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (7/10/2021). Menurutnya, sektor perpajakan membutuhkan harmonisasi regulasi. Ini bagian dari reformasi perpajakan, agar penerimaan menjadi optimal. Kunci sukses pembangunan nasional yang mandiri dan berdikari adalah terpenuhinya penerimaan negara sebagai modal pembangunan yang berkesinambungan.

 

“Penerimaan perpajakan telah menjadi penerimaan negara terbesar sejak 1992 dengan kontribusi mencapai 47,4 persen dan meningkat pada 2020 menjadi sebesar 65,1 persen. Namun, kontribusi tersebut belum cukup menutup pembiayaan pembangunan yang kian membesar," papar Hergun, sapaan akrab Heri Gunawan.

 

Masalahnya yang dihadapi negara ini adalah sering terjadi shortfall, yaitu realisasi perpajakan lebih rendah daripada target perpajakan yang ditetapkan dalam APBN. Bayangkan, sudah 12 tahun berturut-turut terjadi shortfall pajak. Terakhir kali, ungkap Hergun, penerimaan pajak mencapai target terjadi pada 2008 yang mencapai 106,7 persen atau terealisasi Rp571 triliun dari target Rp535 triliun dalam APBN.

 

"Dengan realisasi ini maka tercatat surplus sebesar Rp36 triliun. Namun, sejak 2009 hingga 2020, penerimaan pajak selalu meleset dari target. Selain shortfall pajak, angka rasio perpajakan Indonesia sejak 2010 hingga 2020 juga cenderung turun, dari 11,3 persen pada 2010 menjadi 9,8 persen pada 2019, dan pada 2020 turun lagi menjadi 8,3 persen," urai Kapoksi Gerindra di Komisi XI itu.

 

Dia menambahkan, rasio perpajakan Indonesia itu jauh di bawah rata-rata negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sebesar 34,3 persen. OECD sendiri, sambung Hergun, mensinyalir rendahnya rasio perpajakan Indonesia disebabkan kepatuhan pajak yang buruk, insentif dan pengurangan tarif yang meluas, dan ditambah kecilnya orang pribadi yang membayar pajak penghasilan (PPh).

 

"Terjadinya pandemi Covid-19 makin memperparah kondisi keuangan negara. Defisit APBN yang tadinya dibatasi maksimal 3 persen diberi kelonggaran bisa melebihi di atas 3 persen selama 3 tahun, dari 2020 hingga 2022. Pelebaran defisit APBN secara otomatis menambah akumulasi utang," tutup pria asal Sukabumi, Jawa Barat tersebut. (mh/sf)

BERITA TERKAIT
Lonjakan Kenaikan PBB-P2 Dampak Pemangkasan DAU dan Tuntutan Kemandirian Fiskal
18-08-2025 / KOMISI XI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI Amin Ak menyoroti lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)...
Pidato Ambisius Presiden Harus Menjadi Nyata, Realistis, Terukur, dan Berpihak kepada Rakyat Kecil
18-08-2025 / KOMISI XI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Hanif Dhakiri mengatakan, pihaknya mendukung penuh target ekonomi Presiden Prabowo 2026...
Ekonomi Global Tak Menentu, Muhidin Optimistis Indonesia Kuat
15-08-2025 / KOMISI XI
PARLEMENTARIA, Makassar - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa ketidakpastian ekonomi global yang utamanya dipicu konflik di berbagai belahan dunia,...
BI Harus Gencar Sosialisasi Payment ID Demi Hindari Misinformasi Publik
14-08-2025 / KOMISI XI
PARLEMENTARIA, Balikpapan — Peluncuran Payment ID sebagai identitas tunggal transaksi digital terus disorot. Meskipun batal diluncurkan pada 17 Agustus 2025...