Perlu Regulasi Kuat Atasi Kejahatan Tumbuhan dan Satwa Liar
Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin. Foto: Geraldi/nvl
Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin mengatakan, dugaan kejahatan tumbuhan dan satwa liar (TSL) sangat terorganisir. Mulai dari pemodal, pemburu, pengumpul, dan pedagang yang transaksinya kini umum dilakukan secara daring karena risiko dinilai kecil. Akmal mengungkapkan bahwa saat ini kejahatan TSL menempati urutan ke tiga di bawah kejahatan penyelundupan senjata api dan narkotika/obat bius.
"Mesti ada penguatan regulasi yang pada Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Kami Fraksi PKS mendorong Komisi IV DPR untuk dapat mengajukan revisi UU No 5 Tahun 1990 ini,” ujar Akmal saat rapat kerja antara Komisi IV DPR RI dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (13/1/2021).
Legislator dapil Sulawesi Selatan II ini menyatakan, hingga saat ini maraknya kejahatan TSL (wildlife crime) terus berlangsung akibat keuntungan ilegal yang sangat besar. Nilai perdagangannya dapat mencapai 15-20 miliar dolar AS per tahun. Sangat besarnya perdagangan ilegal ini setara dengan kejahatan perdagangan narkoba.
Di Indonesia sendiri kejahatan satwa liar menduduki peringkat ketiga setelah kejahatan narkoba dan perdagangan manusia dengan nilai transaksi hasil penelusuran PPATK diperkirakan lebih dari Rp 13 trilliun per tahun dan nilainya terus meningkat. Ia juga mengatakan, Indonesia menjadi lokasi kejahatan TSL ini karena Indonesia merupakan rumah dari 17 persen total spesies yang ada di dunia. Indonesia negeri kaya raya dengan keanekaragaman Biodiversity.
"Pembinaan masyarakat sekitar hutan oleh KLHK, mesti dijadikan mitra saling menguntungkan. Jangan sampai masyarakat sekitar hutan yang dikriminalisasi. Mereka inilah yang bila sudah terbina, akan menjadi benteng penjagaan hutan dari tangan-tangan tak bertanggung jawab,” kata Akmal. (dep/es)