Belum Miliki Izin, Netty Prasetiyani Pertanyakan Nasib 1,2 Juta Dosis Vaksin Sinovac
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher. Foto : Dok/FTR
Sebanyak 1,2 juta dosis vaksin Sinovac yang sudah tiba di tanah air belum mendapatkan izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher mempertanyakan bagaimana nasib vaksin jika tingkat efikasinya tidak memadai.
“BPOM belum mengeluarkan izin penggunaan darurat, tapi 1,2 juta vaksin sudah didatangkan ke tanah air. Pihak Sinovac sendiri belum mengeluarkan data efikasinya. Bagaimana nasib vaksin yang sudah tiba tersebut, jika ternyata hasil uji klinisnya tidak memadai?” tanya Netty dalam rilis yang diterima Parlementaria, baru baru ini.
Menurut Netty, dalam pengadaan vaksin, pemerintah harus memastikan keamanan, efektivitas, kebermanfaatan, dan status kehalalannya. "Setiap vaksin memiliki manfaat sekaligus risiko yang harus diantisipasi sebelum diberikan kepada masyarakat. Untuk itu, pemerintah harus konsisten dan patuh terhadap rekomendasi ilmiah sesuai evidence base practices,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, uji klinis tahap ketiga Sinovac masih berlangsung di Bandung, dan hasil lengkap baru tersedia akhir Desember atau awal Januari. Oleh karena itu, kata Netty, pemerintah harus menunggu Emergency Use Authorization (EUA) dari BPOM, lolos sertifikat halal MUI serta terbukti efektif melawan Covid-19.
Menurut Netty, hingga saat ini pengujian oleh LPOM MUI masih mandek, karena pihak produsen belum memenuhi semua persyaratan dokumen yang diminta. Netty menyayangkan ketergesaan pemerintah mendatangkan vaksin sementara uji klinis belum selesai. “Kenapa pemerintah terburu-buru mendatangkan vaksin? Ada apa? Siapa yang berani menjamin selama proses menunggu data, vaksin tidak akan rusak? Bukankah proses penyimpanannya juga membutuhkan biaya?” tanyanya retoris.
Selain itu, Netty juga menyoroti beberapa rumah sakit yang sudah melakukan 'komersialisasi' atas vaksin tersebut dengan cara preorder. “Tingkat keampuhan, kebermanfaatan dan kehalalannya belum bisa dibuktikan. Kenapa sudah diiklankan? Bagaimana pemerintah mengatur ini?" kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Netty meminta pemerintah agar menggunakan strategi komunikasi yang jelas dan transparan dalam pengadaan vaksin. “Ini soal bagaimana marketing policy-nya. Jangan sampai pemerintah menganggap bahwa mereka memiliki otoritas mengadakan vaksin, lalu mengabaikan begitu saja partisipasi dari rakyat. Harus jelas, clear dan transparan kepada publik. Mengapa ada vaksin program dan vaksin mandiri, ada yang gratis dan ada yang berbayar, berapa harga yang akan dipungut dari masyarakat, berapa harga beli vaksin, bagaimana keamanannya, kapan program vaksinasi dilakukan," paparnya
Legislator dapil Jawa Barat VIII itu pun meminta pemerintah belajar dari pengalaman sebelumnya di mana komunikasi yang buruk, kurang tepat, dan tidak sinkron akhirnya malah menimbulkan kegaduhan publik. “Alih-alih menurunkan kurva pandemi, justru muncul public distrust terhadap pemerintah karena kesimpangsiuran informasi soal vaksin" katanya. (rnm/sf)