Pengawasan Pelaksanaan Perppu No.1 Tahun 2020 Harus Diperkuat
Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan. Foto : Andri/Man
Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan merespon rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang ternyata belum mengatur tentang mekanisme kontrol dan akuntabililtas yang ketat tentang pelaksanaan penanganan Covid-19.
Pada rancangan Perppu tersebut, tidak disebutkan secara eksplisit tentang pengawasan yang dilakukan oleh publik dan DPR RI. Sehingga diperlukan pengawasan pelaksanaan Perppu Covid-19 dengan ketat untuk meminimalisir terjadinya penyimpangan (Moral Hazard) dan memperkuat mekanisme kontrol terhadap pelaksanaan perppu tersebut.
Legislator dapil NTB I ini menilai bahwa rancangan Perppu Covid-19 memberikan tambahan kewenangan yang sangat besar kepada para menteri dan jajaran terkait. Keadaan ini menurutnya sangat diperlukan mekanisme kontrol yang eksplisit dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik.
"Saya tegaskan bahwa koordinasi yang baik antar kementerian dan lembaga-lembaga terkait sangat diperlukan agar pelaksanaan di lapangan menjadi lebih terarah dan terlaksana dengan baik", ungkapnya dalam rilis yang diterima Parlementaria, Kamis, (2/4/2020).
Pada rapat internal Komisi IV DPR RI yang dilakukan secara virtual pada Kamis 2 April 2020, Johan mengkritisi, bahwa Perppu No.1/2020 memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk untuk barang impor dalam rangka untuk mengatasi Covid-19.
Kondisi ini, sangat diperlukan pengawasan khusus dari DPR RI agar kebijakan impor tidak mematikan peluang pengembangan produksi dalam negeri, termasuk riset penemuan vaksin, membangun sektor kesehatan, industri komoditas pangan, dan lain-lain. "Pengambilan keputusan, pemerintah seharusnya berbasis bukti atau evidence based dan melibatkan berbagai pakar di bidangnya untuk penanganan pandemi Covid-19," tandas Johan.
Selanjutnya Johan menyampaikan bahwa Perppu No.1/2020 ini membuka tambahan anggaran sebesar Rp 405,1 triliun. Besarnya anggaran ini, memerlukan pengawasan dan akuntabililtas yang ketat dari tim pengawas DPR RI.
Johan juga menguraikan beberapa contoh bentuk pengawasan dan akuntabilitas Perppu yang terkait dengan hajat hidup rakyat banyak adalah seperti Program Tambahan Sembako untuk 4,8 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dari 15,2 juta menjadi 20 juta KPM.
Baginya, diperlukan pengawasan DPR RI untuk memastikan penerima eksisting 15,2 juta KPM menerima tambahan Rp 50 ribu per bulan selama 9 bulan serta pengawasan terhadap tambahan 4,8 juta KPM menerima Rp 200 ribu per bulan selama 9 bulan. Ia menyebutkan, total alokasi kartu sembako dengan anggaran sebesar Rp 43,6 triliun dan anggaran yang besar ini harus ada pengawasan dan akuntabilitas yang ketat.
Ia juga menjelaskan tentang pentingnya pengawasan terhadap cadangan untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan operasi pasar, terutama pengawasan terhadap kinerja Bulog berkoordinasi dengan Kemendag dan Kementan. Pengawasan DPR RI mesti diarahkan untuk menjamin ketersediaan bahan pangan dan bahan pokok dengan harga yang stabil pada tambahan alokasi anggarannya sebesar Rp 25 triliun.
"Pengawasan ketat DPR RI menjadi mendesak diperlukan terhadap kebijakan stimulus non fiskal, yang memberikan penyederhanaan dan pengurangan jumlah Lartas (Pelarangan dan Pembatasan) impor pada komoditas pangan khususnya", tutup Johan. (hs/es)