Negara Harus Hati-Hati Selesaikan Masalah Keagamaan

04-11-2019 / KOMISI VIII
Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily. Foto : Sofyan/mr

 

Presiden akan mewacanakan mengganti istilah radikalisme agama dengan manipulator agama. Menanggapi wacana itu, Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily, yang membidangi urusan agama angkat bicara. Menurutnya, istilah radikalisme kerap mengundang perdebatan.

 

“Istilah radikalisme ini masih menjadi perdebatan baik di dalam perspektif akademik maupun dari segi praktik-praktik politik. Itu tidak hanya berlaku pada Islam saja tetapi juga agama-agama lain. Dan juga bukan cuma aspek agama tetapi juga radikalisme terhadap chauvanisme, suku, ras dan lain-lain,” demikian jelas Ace dalam rilis yang diterima Parlementaria, Senin (4/11/2019).

 

Ace menjelaskan, radikalisme agama adalah kekerasan yang dilakukan dengan mengatasnamakan agama tertentu. Padahal agama tidak mengajarkan itu. “Intinya adalah kekerasan yang sering terjadi kerap kali disebabkan dibenturkan antara pemahaman keagamaan yang bisa jadi itu dijadikan sebagai instrumen untuk meraih hal-hal di luar semangat keagamaan. Sehingga dengan mudah orang melakukan kekerasan atas nama agama. Padahal sejatinya dalam agama kan seharusnya tidak boleh melakukan kekerasan,” papar Ace.

 

Lebih lanjut, politisi Fraksi Partai Golkar itu menyatakan bahwa radikalisme sangat berbahaya karena melanggar nilai-nilai dalam agama itu sendiri. “Karena hal tersebut selain bisa meruntuhkan sendi-sendi agama, tetapi lebih daripada itu adalah melanggar nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai keagamaan itu sendiri,” lanjut Ace.

 

Menurut Ace, dalam upaya melawan radikalisme, peran organisasi masyarakat (ormas) keagamaan Islam sangat dibutuhkan, terutama ormas-ormas yang sudah bersepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Keberadaan ormas tersebut, lanjut Ace, harus terus diberdayakan dengan melibatkan dalam kegiatan dakwah.

 

Ace mengingatkan pemerintah untuk tidak mencampuri paham keagamaan masyarakat karena hal itu bisa menimbulkan resistensi terhadap pemerintah. “Negara harus hati-hati dalam hal menyelesaikan masalah pemahaman keagamaan semacam ini. Jangan terlalu banyak, terlalu intervensi terhadap pemahaman keagamaan, biar itu menjadi domain dari kelompok civil society Islam. Kalau negara terlalu ikut campur, maka saya khawatir itu akan menimbulkan resistensi diantara masyarakat itu sendiri,” pungkas Ace. (eko/es)

BERITA TERKAIT
Komisi VIII Serap Aspirasi Soal Layanan Haji bagi Lansia dan Disabilitas
21-08-2025 / KOMISI VIII
PARLEMENTARIA, Jakarta — Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang menegaskan pentingnya memperkuat aspek pelayanan bagi jemaah haji penyandang disabilitas...
RUU Penyelenggaraan Haji: Soroti Transisi Kelembagaan dan Usulan Kampung Haji
20-08-2025 / KOMISI VIII
PARLEMENTARIA, Jakarta – Komisi VIII DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama sejumlah organisasi kemasyarakatan Islam di Nusantara...
Revisi UU Haji Diharapkan Tingkatkan Kualitas Pelayanan Jemaah
20-08-2025 / KOMISI VIII
PARLEMENTARIA, Jakarta — Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Abidin Fikri, menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah...
Maman Imanulhaq Dorong Kemenag Perkuat PAUD Qu’ran
14-08-2025 / KOMISI VIII
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi VIII DPR RI Maman Imanulhaq mendorong Kementerian Agama (Kemenag) untuk memperkuat posisi Pendidikan Anak Usia...