Anggaran Untuk Kebutuhan Mendesak Jangan Dikurangi
Anggota Komisi II DPR RI Firman Soebagyo Foto : Oji/mr
Anggota Komisi II DPR RI Firman Soebagyo mengatakan bahwa pagu anggaran kementerian dan lembaga saat ini memang banyak mengalami penurunan. Akan tetapi penurunan anggaran tersebut harus tetap juga mempertimbangkan posisi dari kebutuhan mendesak yang ada.
“Penurunan ini tentunya harus melihat dimana posisi kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dan mendasar, dan itu harusnya jangan dikurangi,” tegas Firman disela-sela agenda Rapat Kerja Komisi II DPR dengan Menteri ATR/BPN dan Kepala LAN di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/6/2019).
Untuk menghadapi sistem anggaran seperti sekarang ini, sambung Firman, semua pihak harus mulai berpikir kedepan dimana posisi perencana anggaran atau tata kelola keuangan negara yang sesungguhnya menjadi domain dari Presiden.
“Presiden mempunyai kewenangan untuk menentukan besar kecilnya anggaran. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan bertugas mencari sumber uangnya. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa kewenangan untuk mengatur masalah anggaran ini adalah Menteri Keuangan. Ini mereduksi kewenangan Presiden. Seharusnya Presiden yang menentukan bukan Menteri Keuangan,” ucap legislator fraksi Partai Golkar itu.
Ia terkejut ketika mengetahui bahwa anggaran Kepala Staf Kepresidenan (KSP) hanya senilai Rp 70 miliar rupiah. “Tugas KSP itu sangat luar biasa yakni sebagai corong atau mata telinga dari Presiden. Dengan anggaran dibatasi itu bagaimana Presiden bisa maksimal dalam melaksanakan kinerjanya. Bagaimana aparatur negara yang ada disekitar istana tersebut bisa berkerja maksimal kalau anggarannya dibatasi. Termasuk mengenai biaya anggaran untuk Kepresidenan RI 1 dan RI 2 yang jumlahnya hanya 101 miliar rupiah,” ungkapnya.
Ini bukanlah anggaran yang besar, lanjutnya, karena tugas Presiden sangat berat. “Kalau sistem anggarannya seperti ini maka pengendali keuangan negara itu bukan Presiden tetapi Menteri Keuangan, padahal tugas Menteri Keuangan adalah untuk mencari uang. Apa tidak ada pemikiran-pemikiran supaya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 itu untuk dikembalikan,” ujar Firman.
Ia menyampaikan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 itu masuk dalam rezim pasca reformasi, dimana ketika itu euforianya pemerintahan orde baru adalah pemerintahan yang korup, karena keuangan dikendalikan oleh Presiden. Kemudian diregulasi agar ada pengaturan keuangan negara itu oleh Kementerian Keuangan.
“Ini salah. Karena di dalam konstitusi Presiden yang seharusnya memegang mandat untuk mengatur keuangan negara. Presiden harus mempunyai kewenangan penuh terhadap keuangan negara. Anggaran yang mengikuti rencana kerja, bukan rencana kerja yang mengikuti anggaran. Sebab kita ingin negara maju, oleh karenanya rencana kerja lima tahun harus terukur,” tutupnya. (dep/es)