STIGMATISASI PEMERINTAH TERHADAP DIY DINILAI MENGUSIK EKSISTENSI DIY

02-02-2011 / KOMISI II

 

 Stigmatisasi pemerintah atas Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai monarki telah mengusik eksistensi keistimewaan DIY. Hal tersebut disampaikan Anggota Komisi II Alexander Litaay (F-PDIP) saat membacakan  pandangan Fraksi PDI Perjuangan terhadap Perubahan Rancangan Undang-Undang  tentang Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Rapat Kerja Komisi II dengan  Menteri Dalam Negeri  Gamawan Fauzi, dan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar yang dipimpin Wakil Ketua Komisi II Herman Khaerudin di Gedung DPR, Rabu (2/2)

Stigmatisasi pemerintah yang tercermin dari pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada sidang Kabinet Terbatas 26 Januari 2010 menurut Litaay  sangat melukai perasaan publik Yogyakarta, bahkan dimaknai akan memberangus identitas dan sistem hidup yang selama ini mengayomi masyarakat Yogyakarta dan mampu menjaga harmoni sosial. “Presiden keliru mempertentangkan sistem monarki dengan demokrasi sistem pemerintahan DIY,” terangnya.

Dijelaskan Litaay bahwa pernyataan Presiden menimbulkan respon penolakan  secara masif, baik dilakukan oleh elemen masyarakat dan pemangku kepentingan setempat, termasuk lembaga-lembaga poltik formal seperti DPRD DIY dan DPRD Kabupaten/Kota se-DIY. 

Alexander  menyatakan bahwa pernyataan pemerintah yang menyatakan bahwa  “Bila saatnya Sultan dan Paku Alam berusia senja, sudah tidak pada tempatnya lagi beliau dibebani dengan tugas-tugas yang sangat berat. Atau bila Sultan bertahta, seorang yang berusia remaja bukan pada tempatnya diberi tugas yang berat sebab belum mampu dipikulnya” dinilai sangat lemah dan cenderung mengada-ada.

Pemerintah dianggap Litaay menafikkan mekanisme internal keraton yang terbukti efektif mengantisipasi beberapa kemungkinan sebagaimana disebut pemerintah. “Keraton memiliki aturan-aturan internal yang disebut Paugeran yang didalamnya juga mengatur sistem perwalian ketika Sultan yang bertahta masih berusia remaja,” kata Litaay.

Berbeda dengan Litaay, Anggota Komisi II Jufri (F-PD) menyatakan bahwa RUU tentang Keistimewaan DIY harus tetap berpedoman pada demokrasi dengan berubahnya sistem monarki absolut menjadi monarki konstitusional.

Menurut Jufri, demokrasi merupakan sebuah kunci revitalisasi bangsa. Jika tidak ada revitalisasi yang terwujud  maka RUU tersebut tidak mencerminkan status keseimbangan suatu daerah khususnya DIY. Hal tersebut dapat dilihat dari segi perspektifnya yang dinilai belum sepenuhnya menunjukkan aspek perubahan suatu daerah.

“Dengan perubahan yang mengatur kedua sistem tersebut dapat mencerminkan simbol pemersatu bangsa melalui konsep konstitusional yang diterapkan di Keraton Yogyakarta,” jelas Jufri. (tm/sc)

BERITA TERKAIT
Legislator Ingatkan Pemda Tak Gunakan Kenaikan Pajak untuk Dongkrak PAD
15-08-2025 / KOMISI II
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi II DPR RI Deddy Sitorus menegaskan komitmennya dalam mengawasi kebijakan pemerintah daerah (pemda) yang berdampak...
Pemberhentian Kepala Daerah Ada Mekanisme yang Sudah Diatur Undang-Undang
15-08-2025 / KOMISI II
PARLEMENTARIA, Jakarta - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Bahtra Banong menjelaskan bahwa untuk memberhentikan Kepala daerah sama dengan pengangkatannya,...
Situasi Pati Telah Kondusif, Saatnya Energi Pemda Fokus untuk Pembangunan
15-08-2025 / KOMISI II
PARLEMENTARIA, Jakarta - Polemik yang terjadi di Pati mulai mereda, khususnya usai pembatalan kenaikan PBB dan permohonan maaf dari Bupati...
Belajar dari Kasus di Pati, Jangan Ada Jarak Kepala Daerah dan Rakyatnya
14-08-2025 / KOMISI II
PARLEMENTARIA, Jakarta - Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda menilai kasus yang terjadi di Pati, Jawa Tengah antara kepala...