RUU Jabatan Hakim Akomodir Permasalahan Hakim
Tim Kunker Komisi III DPR mengunjungi Mapolda Sumbar menyerap masukan RUU tentang Jabatan Hakim. Foto: Agung/jk
Tim Panja Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jabatan Hakim Komisi III DPR RI mencari informasi, bahan, dan data, baik berupa masukan dari akademisi di Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), tentang berbagai permasalahan di dunia peradilan, khususnya yang berkaitan dengan status dan manajemen hakim serta mengakomodir berbagai permasalahan terkait hakim.
Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Syafi’i mengatakan, hal ini dilakukan untuk mendapatkan masukan terkait RUU Jabatan Hakim, sehingga pembahasan RUU Jabatan Hakim dapat dilakukan dengan baik dan cermat. Nantinya, dengan adanya RUU ini diharapkan dapat meningkatkan integritas, performa, dan kapabilitas para hakim dalam menyelesaikan berbagai permasalahan hukum di Indonesia.
“Studi empiris perlu dilakukan untuk mencari data dan masukan sebanyak-banyaknya dari pemangku kepentingan (stakeholders) di daerah-daerah,” katanya di sela-sela FGD Komisi III DPR RI terkait pembahasan RUU Jabatan Hakim dengan Kapolda Sumbar, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumbar, Pengadilan Tinggi Sumbar, Kakanwil Hukum dan HAM Sumbar, Akademisi Universitas Andalas, Universitas Negeri Padang, Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, dan Peradi Sumbar, di Mapolda Sumbar, Kamis (27/9/2018).
Syafi’i menjelaskan ada beberapa masukan krusial tentang RUU Jabatan Hakim dalam pertemuan ini. Semua stakehoders yang hadir setuju untuk melanjutkan pembahasan RUU Jabatan Hakim. Namun mereka masih tetap mempersoalkan batasan umur hakim, baik itu hakim pertama, hakim tinggi maupun hakim agung. Internal hakim cenderung tetap pada UU sebelumnya, bahwa Hakim Pertama itu adalah 60 tahun, Hakim Tinggi 65 tahun, dan Hakim Agung 70 tahun.
Tetapi kemudian ini menjadi soal ketika UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dikatakan bahwa hakim baik dari tingkat pertama, hakim tinggi maupun hakim agung adalah pejabat negara. Pejabat negara dipahami saat ini memiliki periodisasi. Periodisasinya adalah 5 tahun, dan jika ini diterapkan, maka akan terjadi perubahan dalam masa atau umur dari umur dari tingkatan itu.
“Ini yang kemudian menjadi bahan diskusi. Dari akademisi setuju hakim agung diawali dari 55 tahun dan hanya bisa memegang jabatannya selama 2 periode. Artinya dia harus pensiun dalam usia 65 tahun,” imbuh legislator Partai Gerindra ini.
Kemudian soal independensi, menurutnya jika hakim independen dalam satu atap Mahkamah Agung, maka yang menjadi soal adalah pola rekrutmen. Jika rekrutmennya masih sama dengan sistem Aparatur Sipil Negara (ASN), maka ini sudah memulai terganggunya proses independensi. “Sepertinya mereka menginginkan kalau hakim itu betul betul independen, maka pola rekrutmennya harus spesifik MA. Jadi tidak mengikutsertakan aparatur yang lain, dalam hal ini Menteri PAN-RB,” paparnya.
Kemudian dalam penetapan Hakim Agung, mereka kemudian bersoal kalau kemudian menjaga independensi sebenarnya sudah tidak cocok kalau melibatkan unsur yang lain, misalnya ada uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) 5 tahunan di DPR RI. Ini bisa mengganggu independensi, karena mungkin masuk kepentingan-kepentingan politik dari Anggota DPR RI pada fit and proper test itu.
Lebih lanjut mengenai pengawasan, semua stakeholder sepakat tentang pengawasan, karena kekuasaan tanpa pengawasan kecenderungannya akan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan menggunakan kekuasaan lebih dari kapasitas yang diberikan. Tapi kemudian mereka ingin agar Komisi Yudisial bisa satu nafas dengan MA, karena yang mereka rasakan ada perbedaan stigma yang ada di MA dengan KY dalam melakukan pengawasan.
“Mereka ingin dalam UU ini diselaraskan. Kalau pengawasan internal di Mahkamah Agung dan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial. Dan itu tidak boleh ada tumpang tindih antara yang satu dengan yang lain,” tandas legislator dapil Sumatera Utara itu.
Legislator yang akrab dipanggil Romo itu menambahkan, pihaknya menginginkan mendapatkan masukan, sehingga lebih komprehensif bisa mengisi ruang-ruang yang belum sempurna pada UU yang existing. Ada semacam keinginan dari publik, RUU ini bisa diselesaikan secepat-cepatnya, keinginan yang sama juga ada pada Komisi III DPR RI.
“Akan tetapi, menurut kami adalah menyempurnakan konten dari UU ini. Sehingga kalau sedikit terlambat, tetapi kita bisa memastikan ketika UU ini disahkan bisa menjadi guidance yang komprehensif bagi penataan jabatan hakim dimasa-masa yang akan datang. Komisi III menargetkan dan berharap sebelum masa kerja DPR 2014-2019 berakhir kita bisa menyelesaikan UU ini,” tegasnya. (as/sf)