BK DPR Jelaskan Tupoksi Banggar dalam Penyusunan RAPBD
Kepala Badan Keahlian DPR RI Kadir Johnson Rajagukguk menerima audiensi DPRD Kabupaten Kudus dalam rangka konsultasi terkait pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang Badan Anggaran (Banggar) dan Badan Kehormatan (BK) di DPRD, khususnya dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD).
Johnson menjelaskan Banggar dan BK merupakan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) yang bersifat tetap. Keanggotaan Banggar dipilih secara proposional ditentukan pada saat konsultasi antara pimpinan DPR/DPRD dan juga pimpinan fraksi-fraksi. Banggar di DPR dan DPRD memiliki tugas dan fungsi yang sama.
“Dalam penyusunan RAPBN tugas Banggar tentu tidak lepas dari peran Komisi,” kata Johnson kepada Anggota DPRD Kudus di Gedung Sekretariat Jenderal dan Badan Kehalian DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (31/8/2018).
Dalam pembahasan RAPBN, tahapan pertama, masing-masing komisi melakukan pembicaraan pendahuluan bersama dengan Kementerian atau Lembaga yang menjadi mitra kerjanya. Pembicaraan tersebut merupakan pokok-pokok pikiran seperti program dan kegiatan yang akan dilakukan komisi dan mitra kerjanya, rencana anggaran yang dibutuhkan untuk nantinya dibahas di Banggar.
Setelah itu Banggar bertugas untuk membahas RAPBN bersama dengan Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas dan Gubernur Bank Indonesia.
Apabila terjadi perbedaan antara hasil pembahasan komisi dengan hasil pembahasan Banggar, maka akan dilakukan koordinasi dan konsultasi. Perbedaan hasil akan berimplikasi terhadap penganggaran kementerian atau lembaga yang menjadi mitra dari komisi tersebut.
“Saya yakin juga di DPRD ada pembicaraan pendahuluan RAPBD, karena itulah yang nanti menjadi dasar penentuan dari alokasi untuk setiap masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Jadi sama halnya sebenarnya dengan apa yang dilakukan di DPR,” lanjut Johnson.
Sementara tugas Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) atau Badan Kehormatan adalah menjaga harkat martabat dan kehormatan dari DPR dan DPRD. Hal ini berkaitan dengan etika bagaimana menegakkan kode etik dewan. AKD ini bersifat pasif karena memang prinsipnya sama dengan pengadilan.
“Kalau di DPR sekarang disebutnya MK, kalau di DPRD masih BK. Nah keduanya ini bekerja atas dasar pengaduan, kecuali ada kasus-kasus spesifik yang berkembang di masyarakat, baru aktif,” ungkap Johnson. (apr/sf)