PPA untuk PLTU Batang Dinilai Mahal

15-03-2018 / KOMISI VII
Anggota Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih, foto : mhr/hr

 

 

Anggota Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih menilai, harga jual beli listrik atau Power Purchase Agreement (PPA) untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang masih terlalu mahal. Diketahui saat ini PPA berada di angka US$ 5,71 sen per kilowatt per hour (kwh).

 

“Jadi ada pembangakit yang lebih kecil dari 2x1.000 MW dan harganya lebih murah sekitar US$ 5 sen. Jadi menurut saya, harganya itu bisa lebih murah, bisa jadi US$ 4 sen” ujar Eni usai meninjau PLTU Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Rabu (14/3/2018).

 

Eni melihat ada ketidakefisienan yang menjadi faktor mahalnya angka tersebut. “Sebenarnya apa yang membuat harga itu menjadi US$ 5,7 sen. Karena tempatnya kurang tepat disana. Hal ini akan kita perdalam lagi di Jakarta,” ungkapnya.

 

Politisi F-Golkar ini juga menyoroti mahalnya nilai investasi yang mencapai US$ 4,2 miliar. “Menurut saya untuk berbahan batu bara tidak semahal itu.  Apa faktor tanahnya, teknologinya, tenaga kerjanya, atau komponen-komponen lainnya yang menyebabkan investasi sampai US$ 4,2 miliar,” kata Eni seolah bertanya.

 

Eni juga mempertanyakan mahalnya nilai investasi itu apakah juga karena nilai bunga bank yang tinggi. Kalau ternyata benar, berarti investor datang ke Indonesia datang tanpa modal dan hanya melakukan pinjaman di bank dan bunga banknya juga dimasukkan dalam perhitungan tersebut.

 

“Kalau nilai bunga bank ini juga kita tidak tahu, tinggi atau tidak karena tadi tidak dirincikan. Tentu ini akan kita dalami dan bahas lagi di Komisi VII,” ucapnya.

 

Eni menyoroti mahalnya nilai PPA dan investasi ini bukan tanpa alasan. Ia menjelaskan dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat, terutama dengan harga listrik nantinya. “Bagi saya,  kalau itu untuk rakyat Indonesia, tidak ada sesuatu pun yang tidak bisa diubah karena ini untuk kepentingan rakyat,” tandas politisi dapil Jawa Timur itu.

 

Diketahui, proyek PLTU berkapasitas 2x1.000 MW ini digarap oleh PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) yang pada Juni 2016 lalu mencapai kesepakatan pembiayaan (financial close). BPI merupakan konsorsium dari Electric Power Development Co., Ltd (J-Power), PT Adaro Power (AP), Itochu Corporation (Itochu). Proyek PLTU dengan investasi proyek US$ 4,2 miliar dan memakan lahan 226 hektar ini ditargetkan selesai dan mampu beroperasi untuk komersial pada 2020 mendatang. (mhr/sf)

BERITA TERKAIT
Komisi VII Minta Pemerintah Perluas Keterlibatan UMKM dalam Program MBG
08-08-2025 / KOMISI VII
PARLEMENTARIA, Jakarta - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Chusnunia Chalim, mendorong pemerintah untuk memperluas keterlibatan pelaku Usaha Mikro, Kecil,...
Komisi VII Dorong Skema Royalti Lagu Diatur Ulang
07-08-2025 / KOMISI VII
PARLEMENTARIA, Jakarta - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty menyoroti pentingnya perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) namun...
Khawatir Status UNESCO Dicabut, Kaji Ulang Izin Resort di TN Komodo
05-08-2025 / KOMISI VII
PARLEMENTARIA, Jakarta - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty meminta Kementerian Kehutanan (Kemenhut) untuk mengkaji ulang pemberian Izin...
Apresiasi Pertumbuhan Ekonomi, Sektor Industri Harus Jadi Lokomotif Pemerataan
05-08-2025 / KOMISI VII
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi VII DPR RI, Ilham Permana, menyampaikan apresiasi atas capaian pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,12 persen...