Pembukaan Seminar RUU KUHP

24-08-2016 / KOMISI III
Hukum harus sesuai dengan perkembangan jaman, karena masyarakat sangat dinamis. Oleh karena itu hukum harus mengikutinya. Sementara hokum yang ada di Indonesia, KUHP (kitab undang hokum pidana) merupakan warisan Belanda. Tentu kondisi bangsa Indonesia tidak sama dengan Belanda. Oleh karena itu diperlukan sebuah perubahan.
 
Hal itu diungkapkan Ketua DPR RI, Ade Komarudin dalam sambutan pembukaan Seminar Rancangan Undang-undang tentang KUHP bertema “Evaluasi dan Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia, di Gedung Nusantara V, Senayan Jakarta, Selasa (24/8).
 
“RUU KUHP dibentuk untuk memperbaiki yang sudah ada. Tujuan utamanya menjamin rasa aman bagi seluruh rakyat Indonesia dengan prinsip dasar rasa saling menghargai dan menghormati,”ungkap Akom, begitu ia biasa disapa.
 
Akom berharap Komisi III bersama  dengan pemerintah dapat segera menyelesaikan RUU yang saat ini memasuki pembahasan buku ke dua. Namun tetap dengan kualitas yang baik. Dengan kata lain jangan sampai hanya karena dikejar target waktu, namun mengesampingkan kualitas dari isi RUU itu sendiri.
 
Dalam sesi pertama yang mengambil topik politik kebijakan terhadap kejahatan/hukum pidana meteriil dan upaya rekodifikasi hokum pidana itu dimoderatori oleh Wakil Ketua Komisi III, Benny K Harman.
 
Pada kesempatan itu hadir sebagai pembicara tamu Pinar Fatma Olcer (Associate Professor dari Leiden University). Sementara dari dalam negeri hadir Muhammad Mustofa, Profesor yang menjadi guru besar kriminologi di Universitas Indonesia.
 
Dalam makalahnya Mustofa mengatakan bahwa hokum mencerminkan moralitas masyrakat, sehingga mencerminkan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sementara UU KUHP yang saat ini berlaku di Indonesia merupakan warisan belanda sehingga tidak sepenuhnya mencerminkan moralitas bangsa Indonesia.
 
“Masyarakat Belanda bisa dikatakan homogen, dan lebih bersifat individualistis, sementara masyarakat Indonesia yang berbhineka tunggal ika dengan segala perbedaannya itu tetap guyub, dan lebih mengutamakan kepentingan bersama disbanding kepentingan kelompoknya,”ujar Mustofa.
 
Ditambahkannya keanekaragaman suku dan adat istiadat di Indonesia menghasilkan hokum yang berbeda-beda untuk daerahnya. Dan dulu semua hokum adat tidak berlaku, yang ada hanya hukum yang berlaku di Indonesia. Sejatinya hal itu juga harus ditampung kedalam hukum Indonesia yakni KUHP, karena itulah cermin dari masyarakat Indonesia yang heterogen.
 
Selain Mustofa, hadir pula pembicara lainnya seperti Johanes Usfunan yang menilai harus adanya perbedaan antara hokum dalam tindak pidana khusus (Lex specialis) dan tindak pidana umum (lex generalis). Tindak pidana khusus yang berkaitan dengan tugas negara, seperti komunisme. Sedangkan tindak pidana umum merupakan kejahatan-kejahatan umum lainnya. Sedangkan Edy Yunara lebih memberikan masukan terkait pasal-pasal yang telah disusun dalam RUU KUHP. (Ayu), foto : andri/hr.
BERITA TERKAIT
Legislator Nilai Penegakan Hukum Meningkat, Dorong Transparansi & Perlindungan Masyarakat
15-08-2025 / KOMISI III
PARLEMENTARIA, Jakarta — Anggota Komisi III DPR RI, Bimantoro Wiyono, menilai penegakan hukum di tanah air telah menunjukkan perkembangan signifikan,...
Vonis Mati Kompol Satria dalam Kasus Narkoba Momentum Reformasi di Internal POLRI
14-08-2025 / KOMISI III
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi III DPR Gilang Dhielafararez menilai putusan vonis mati terhadap mantan Kasatreskrim Polresta Barelang, Kompol Satria...
Anggota Komisi III: Jangan Hilangkan Kesakralan HUT RI karena Polemik Bendera One Piece
07-08-2025 / KOMISI III
PARLEMENTARIA, Jakarta — Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, meminta semua pihak untuk mengedepankan paradigma konstruktif dalam menyikapi polemik pengibaran...
Libatkan Tim Ahli Independen dan Akuntabel dalam Audit Bukti Kasus Kematian Diplomat Muda
05-08-2025 / KOMISI III
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI Gilang Dhielafararez mendorong agar ada audit forensik digital terhadap seluruh bukti CCTV...