BAKN Laporkan Pengelolaan PPh Migas Tidak Optimal

09-07-2013 / B.A.K.N.

Dalam Laporan Kinerja Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) Tahun Sidang 2012-2013,  yang dibacakan oleh Ketua BAKNSumarjati Arjoso dalam Sidang Paripurna Selasa (9/7) juga diketengahkan pungutan PPh Migas dengan tarif lebih rendah dari PPh sesuai undang-undang. Hal tersebut menyebabkan hilangnya penerimaan Negara sebesar 1,30 triliun. Selain itu adanya kekurangan setor PPh Migas tahun 2011 sejumlah 1,38 triliun yang belum ada realisasinya.

Dijelaskan Sumarjati bahwa Pengelolaan PPh Migas tidak optimal dan penggunaan tarif pajak dalam perhitungan PPh dan bagi hasil Migas tidak konsisten. Hal itu dikarenakan pemerintah belum menjalankan amandemen Production sharing contract  (PSC) terhadap kontraktor kontrak kerjasama (K3S) Migas yang menggunakan tax treaty dalam penghitungan PPh Migas. Akibatnya pemerintah kehilangan penerimaan Negara minimal 1,30 Triliun. Ironisnya, permasalahan tersebut telah berulang selama tiga tahun terakhir dan telah dilaporkan dalam LHP LKPP Tahun 2010, 2011, dan 2012.

Selain itu,potensi kekurangan penerimaan pajak dari sektor migas terutama PPh Migas akibat dari pengelolaan PPh Migas yang tidak optimal pada tahun 2010 sebesar 4 Triliun, tahun 2011 sebesar 3,04 triliun. Kekurangan tersebut sebagian memang sudah dibayarkan akan tetapi masih terdapat kekurangan pada 2012 sebesar 1,38 Triliun. Kekurangan Penerimaan PPh Migas Tahun 2012 berasal dari kekurangan bayar oleh PT Pertamina (Persero) dan PT Pertamina EP berdasarkan hasil audit BPKP serta sanksi atas keterlambatan membayar.

Menurut BAKN seperti laporannya, kurang optimalnya penerimaan PPh Migas ini disebabkan oleh beberapa kelemahan dalam pengelolaan PPh Migas, diantaranya adalah pemerintah belum menetapkan SOP (Standard Operating Procedure) koordinasi antara DJP, DJA, dan SKK Migas dalam rekonsiliasi perhitungan PPh Migas terutang dari K3S.

KPP Migas juga belum mengenakan sanksi atas keterlambatan pembayaran PPh Migas sebesar 33,026 Triliun. Selain itu penggunaan tarif pajak dalam perhitungan PPh Migas dan perhitungan bagi hasil Migas tidak konsisten.

“Hal-hal tersebut bertentangan dengan PSC sektor V, UU No. 6 Tahun 1963 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara PerpajakanUU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, serta PP No. 79 Tahun 2012 tentang Biaya Operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi,” jelas Sumarjati dalam laporannya. (ayu) foto:wahyu/parle

BERITA TERKAIT
Dukung Swasembada dan ROA 1,5 Persen di 2025, Aset Idle Perhutani Harus Dioptimalkan
22-08-2025 / B.A.K.N.
PARLEMENTARIA, Bogor –Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Sohibul Imam, menekankan pentingnya seluruh BUMN...
Herman Khaeron: Kerja Sama Perhutani Harus Transparan, Banyak Kawasan Tak Beri Benefit
21-08-2025 / B.A.K.N.
PARLEMENTARIA, Bogor –Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Negara (BAKN) DPR RI, Herman Khaeron, menegaskan kunjungan kerja BAKN ke kawasan Perhutani Sentul,...
BAKN DPR RI Desak Perhutani Perbaiki Tata Kelola, Tindaklanjuti Temuan BPK
21-08-2025 / B.A.K.N.
PARLEMENTARIA, Bogor – Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI melakukan Kunjungan Kerja Spesifik ke Perum Perhutani di Sentul, Bogor,...
Arjuni Sakir Ungkap Potensi Bias Pemeriksaan dalam Proses Penilaian Profesional BPKP
23-07-2025 / B.A.K.N.
PARLEMENTARIA, Jakarta - Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Badan Pemeriksaan Keuangan dan...