Putusan MK Tentang Pemilu Bisa Sebabkan Turbulensi Konstitusi

10-07-2025 / KOMISI II
Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda saat acara Dialektika Demokrasi bertema “Bagaimana Nasib DPRD Setelah Putusan MK Pisahkan Jadwal Pemilu” di Senayan, Jakarta, Kamis (10/7/2025). Foto : Arief/Andri

PARLEMENTARIA, Jakarta - Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXI/2025 yang memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu daerah di 2029 mendatang dan seterusnya sebagai “turbulensi konstitusi”. 


"Kenapa turbulensi konstitusi? Karena dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang pertimbangan hukum dan amar putusannya berpotensi mengangkangi sejumlah prinsip dan norma dalam konstitusi itu sendiri," ujar Rifqi dalam acara Dialektika Demokrasi bertema “Bagaimana Nasib DPRD Setelah Putusan MK Pisahkan Jadwal Pemilu” yang digelar oleh Biro Pemberitaan Parlemen bekerja sama dengan KWP, di Senayan, Jakarta, Kamis (10/7/2025).


Dijelaskannya, ada beberapa hal yang melatarbelakangi adanya turbulensi Konstitusi tersebut. Pertama terkait Pasal 22 E ayat 1 menyebutkan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun. Pasal 22 E Ayat 2 pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih presiden, wakil presiden anggota DPR RI, anggota DPD RI dan anggota DPRD.


Sementara dalam amar putusan Nomor 135 PUU 2024 menurutnya telah menghadirkan dua model pemilu nasional dan lokal, di mana jedanya bisa 2 sampai 2,5 tahun. 


Sebut saja tahun 2029 mendatang dilaksanakan pemilu nasional. Kemudian tahun 2031 Indonesia menggelar pemilihan lokal yakni pemilihan gubernur, bupati, walikota dan pemilihan anggota DPRD, provinsi, kabupaten/kota. Artinya, pelaksanaan pemilu sudah tidak lima tahun lagi. Padahal dalam Pasal 22 E ayat 1 jelas menyebutkan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun.


Politisi Fraksi Partai NasDem ini menilai hal tersebut bukan sekadar persoalan teknis kepemiluan, tetapi menyangkut prinsip tata negara. Karena hal itu berarti MK telah membentuk norma undang-undang dasar (UUD) sendiri. Padahal yang berhak membentuk dan menetapkan UUD hanyalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). 


Pihaknya juga sengaja meminta KPU untuk tidak berkomentar terkait hal ini. Karena KPU itu sejatinya sebagai pelaksana apa yang sudah kita putuskan DPR bersama Pemerintah. Sehingga perlu kehati-hatian agar tidak terjadi kekacauan dalam penafsiran norma konstitusi.

 

"Agar kita tidak confused karena ini pada level tataran prinsip konstitusi norma konstitusinya. Belum kita pada pelaksanaan dari sebuah norma. Ini problem yang pertama," pungkasnya. (ayu/aha)

BERITA TERKAIT
Belajar dari Kasus di Pati, Jangan Ada Jarak Kepala Daerah dan Rakyatnya
14-08-2025 / KOMISI II
PARLEMENTARIA, Jakarta - Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda menilai kasus yang terjadi di Pati, Jawa Tengah antara kepala...
Legislator Minta MK Bijak Putuskan Gugatan untuk Batalkan Keputusan Pemisahan Pemilu
06-08-2025 / KOMISI II
PARLEMENTARIA, Jakarta - Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf minta MK bijak dalam memutuskan gugatan untuk membatalkan putusan MK...
Komisi II Sambut Positif Usulan RUU BUMD, Standardisasi Kompetensi SDM Jadi Kunci
31-07-2025 / KOMISI II
PARLEMENTARIA, Jakarta - Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menyatakan bahwa pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah...
Komisi II Dorong Penguatan GTRA untuk Selesaikan Konflik Agraria di Daerah
29-07-2025 / KOMISI II
PARLEMENTARIA, Ternate – Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinnizamy Karsayuda, menegaskan pentingnya optimalisasi Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di seluruh...