Subsidi BBM Cekik APBN, Kaji Ulang Proyek Mercusuar Tak Berdampak ke Masyarakat

30-06-2024 / KOMISI VII
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto. Foto: Oji/vel

PARLEMENTARIA, Jakarta - Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto meminta Pemerintah agar menekan pembiayaan-pembiayaan yang tidak produktif dan tidak berpengaruh kepada masyarakat dapat dikaji ulang. Hal itu dalam rangka menghemat pengeluaran Pemerintah disebabkan membengkanya subsidi APBN di tengah melemahnya kurs rupiah terhadap dolar.

 

"Sebagaimana juga zaman dulu, misalnya proyek-proyek mercusuar dan sebagainya itu ditangguhkan, mengingat dalam waktu dekat ini sudah barang tentu implikasinya luar biasa," ujar Sugeng dalam keterangan tertulis kepada Parlementaria, di Jakarta, Minggu (30/8/2024).

 

Di sisi lain, Politisi Fraksi Partai NasDem itu juga meminta pemerintah mengkaji secara serius terkait subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kajian diperlukan untuk mengurai masalah subsidi yang dirasa semakin mencekik APBN.

 

Masalah lain muncul karena harga produksi BBM kian naik. Harga produksi BBM jenis Pertalite sudah naik dari Rp12.400 menjadi Rp13.500 per liter. Angka itu lebih tinggi Rp3.500 dibandingkan dengan harga jual di SPBU Pertamina saat ini yakni Rp10.000.

 

"Pertalite dengan harga jual Rp10.000 (per liter), itu harga produksinya kurang lebih Rp12.400. Bahkan, akhir-akhir ini akan naik kurang lebih menjadi Rp3.500. Jadi Rp13.500 harga realnya," tambahnya.

 

"Pertalite dengan harga jual Rp10.000 (per liter), itu harga produksinya kurang lebih Rp12.400. Bahkan, akhir-akhir ini akan naik kurang lebih menjadi Rp3.500”

 

Legislator Partai NasDem itu mengatakan, selisih harga produksi dan harga jual tersebut bisa memberikan beban berat bagi Pertamina. Terutama, bila penyaluran Pertalite melebihi kuota yang telah ditentukan pada 2024 yakni 31 juta kilo liter.

 

"Setiap liternya itu kurang lebih Rp3.500 dikalikan 31 juta kiloliter. Itu untuk Pertalite di 2024 ini kita targetkan demikian. Dan prognosa yang ada itu tampaknya akan terlampaui, bahkan menjadi 32 juta kiloliter. Nah ini kan beban juga bagi korporasi sebagaimana saya kemukakan tadi," jelas Sugeng.

 

Selain Pertalite, kata Sugeng, BBM jenis Solar juga mengalami masalah yang sama. Harga keekonomian Solar mencapai Rp12.100, sementara harga jual di SPBU hanya Rp6.800. Padahal, subsidi dari pemerintah hanya Rp1.000 per liter.

 

"Solar ini juga sudah mengalami problem yang cukup serius, karena subsidi Solar kita tetapkan antara Rp1.000-Rp3.000, malah ditetapkan oleh pemerintah Rp1.000 per liter. Nah inilah juga yang terus-menerus kita hitung," urainya. (rdn)

BERITA TERKAIT
Komisi VII Dorong Modernisasi dan Penguatan BBIA
22-08-2025 / KOMISI VII
PARLEMENTARIA, Bogor —Komisi VII DPR RI mendorong penguatan peran Balai Besar Industri Agro (BBIA) melalui modernisasi peralatan, peningkatan sumber daya...
Industri Petrokimia Penentu Daya Saing Nasional, Ego Sektoral Harus Dihapuskan
22-08-2025 / KOMISI VII
PARLEMENTARIA, Cilegon – Anggota Komisi VII DPR RI, Novita Hardini, menegaskan pentingnya penguatan industri petrokimia sebagai fondasi utama sektor manufaktur...
Komisi VII Soroti Daya Saing Produk Nasional di Tengah Banjir Impor China
22-08-2025 / KOMISI VII
PARLEMENTARIA, Cilegon - Komisi VII DPR RI menyoroti tantangan serius yang dihadapi industri nasional akibat derasnya arus produk impor, khususnya...
Krisis Pasokan Garam & Gas Industri, Komisi VII Minta Pemerintah Siapkan Solusi Konkret
22-08-2025 / KOMISI VII
PARLEMENTARIA, Cilegon– Komisi VII DPR RI menyoroti permasalahan krusial terkait pasokan bahan baku industri, khususnya garam dan gas. Hingga kini,...