KOMISI VIII BERTEKAD BERI PERLINDUNGAN BAGI WARGA MUSLIM
Komisi VIII DPR bertekad memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada warga Indonesia yang mayoritas Muslim dari makanan yang dikonsumsi. Hal tersebut disampaikan Anggota Komisi VIII Mahrus Munir (F-PD) saat Rapat Dengar Pendapat Umum Panja RUU Jaminan Produk Halal (JPH) Komisi VIII dengan Kadin, IPMG, GAPMMI, GPFI, Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia, dan Asosiasi Franchise Indonesia di Gedung DPR Jakarta, Kamis (24/2)
Mahrus berharap RUU JPH bisa menjadi UU yang memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat tidak hanya menguntungkan satu golongan saja.
Mahrus juga memberikan apresiasi atas koordinasi terpadu yang telah dilakukan KADIN dengan para produsen makanan, obat-obatan, dan kosmetika sehingga tercapai sebuah kesepakatan dan pemahaman yang sama dalam membahas RUU JPH tersebut.
Sedangkan Anggota Komisi VIII, Adang Ruchiatna Puradiredja (F-PDI Perjuangan) mengatakan bahwa komisinya tidak akan terburu-buru mencari masukan dalam membahas RUU JPH yang sedang berjalan, karena khawatir kelak UU yang telah disahkan tidak efektif serta memberatkan masyarakat.
Disamping memikirkan efek samping yang akan ditimbulkan dari kebijakan yang diambil DPR, Adang melihat selama ini UU yang telah disahkan DPR kerap tidak berjalan efektif bahkan cenderung memberatkan masyarakat.
Selain itu, belum jelasnya kementerian yang bakal mengkoordinir permasalahan tersebut, membuat DPR khususnya Komisi VIII hati-hati dalam mengambil sikap.
“Beberapa kali kami membuat UU kemudian tidak jalan, selain itu efek-efek yang bakal terjadi juga harus dipikirkan, makanya kami tidak tergopoh-gopoh mencari masukan untuk pembahasan RUU ini. Ketidakjelasan lembaga yang mengurusi sertifikasi ini juga menjadi masalah. Kementerian Agama sudah banyak kerjaannya,” imbuh Adang.
Dalam pertemuan itu, Adang juga mempertanyakan perlindungan terhadap produsen jika sertifikasi halal jadi diterapkan pada semua produsen produk baik makanan, obat-obatan, maupun kosmetika.
“Jika jaminan sertifikasi halal bersifat mandatory (wajib) maka akan berdampak pada produsen penghasil produk makanan non halal yang memang diperuntukkan bagi konsumen non Muslim. Ini akan memberikan konsekuensi pada iklim investasi dan kondisi tenaga kerja Indonesia, bagaimana KADIN menyikapi kasus ini?,” ujarnya. (da/sc)