Harus Ada Perbedaan Waktu Pembahasan APBN dan APBD
Kepala Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI Ahmad Asep Saefuloh menerima audiensi DPRD Kabupaten Barito Kuala, Prov.Kalimantan Selatan. Foto: azka/jk
Kepala Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI Ahmad Asep Saefuloh saat menerima audiensi DPRD Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan mengatakan, Rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akan selalu berpotensi mengalami perubahan, selama belum ada perbedaan waktu dengan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Saat APBD sedang proses pembahasan, APBN juga sama. Akhirnya kan jadi mengira-ngira, karena harus menunggu dulu sampai benar-benar selesai pembahasan di APBN. Baru ketahuan berapa sebenarnya alokasi anggaran yang bakal diterima di daerah tersebut. Makanya tidak heran, APBD selalu ada perubahan,” kata Asep di Gedung Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (17/9/2018).
Asep menjelaskan, APBD adalah bagian dari rangkaian APBN. Bedanya, pembahasan APBN akan menyangkut APBD, tapi pembahasan APBD belum tentu ada kaitannya dengan APBN. Karena itu, APBD harus selalu menunggu proses selesainya pembahasan APBN. Kondisi ini yang menjadi persoalan di pemerintahan daerah. Berbeda dengan pusat, APBN tanpa harus ada perubahan pun bisa saja karena kendali keuangan ada di pusat.
Untuk proses pembahasan, ia melanjutkan, ada sedikit perbedaan mendasar. Untuk di DPR RI, peran Komisi masih dominan. Pembahasan program dan kegiatan merupakan ranah Komisi, sementara ketika bicara pagu anggaran merupakan ranah Badan Anggaran (Banggar). Sementara di daerah, berdasarkan pernyataan beberapa DPRD, Komisi dianggap kurang berperan, sebab lebih di dominasi oleh Banggar.
“Untuk masalah pembicaraan, sama seperti di DPR. Kalau di DPR, APBN ditetapkan dengan undang-undang (UU), untuk di daerah dengan peraturan daerah (perda). Kemudian persamaannya, baik APBN maupun APBD pembicaraannya sampai dengan tingkat 2,” tambah Asep.
Untuk mengatasi persoalan ini, Asep bersama tim telah melakukan kajian. Yakni diperlukan penerapan tahun anggaran yang berbeda antara pusat dan daerah. Misalkan waktu pembahasan di pusat adalah 1 Januari – 31 Desember, maka pembahasan di daerah dilakukan mulai dari tanggal 1 April – 31 Maret. Tetap dengan lama waktu yang sama yakni 1 tahun. Untuk itu perlu adanya upaya perbaikan, salah satunya dengan merevisi UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam UU tersebut diatur bahwa tahun anggaran adalah dari 1 Januari - 31 Desember. Perlu diperjelas waktu untuk pembahasan APBN dan APBD.
“Saya sangat memahami daerah, apalagi ketika bicara dana alokasi fisik, itu kan dana bagi hasil, sangat tergantung kepada berapa realisasi anggarannya. Penerimaannya harus sesuai dengan yang diperhitungkan. Kalau anggarannya pada saat realisasi penerimaannya tidak seperti itu, berarti yang dialokasikan di awal dengan penerimaannya tidak sesuai. Padahal dari awal pemerintah daerah sudah merencanakan kebutuhan. Dengan membedakan tahun anggaran akan memperkecil risiko ketidaktepatan penganggaran. Kalau selama seperti ini terus akan begini juga hasilnya, akan selalu ada APBD-Perubahan,” tutup Asep. (apr/sf)