Idealnya Pansus TKA untuk Klarifikasi Masalah TKA
Anggota Komisi IX DPR RI, Okky Asokawati (F-PPP)/Foto:Arief/Iw
Diskursus pembentukan Panitia Khusus (Pansus) DPR RI menyangkut tenaga kerja asing (TKA) idealnya diarahkan untuk mengklarifikasi berbagai masalah TKA, bukan untuk kepentingan politik. Pansus kelak harus mendudukkan persoalan TKA yang sudah muncul beberapa tahun terakhir ini dengan jernih.
Anggota Komisi IX DPR RI Okky Asokawati menyampaikan hal ini dalam rilisnya, Kamis (26/4/2018). “Rencana Pansus TKA DPR harus ditempatkan secara proprosional dan menjadi momentum yang baik bagi pemerintah khususnya Kementerian Tenaga Kerja untuk mengklarifikasi, menjelaskan, serta mendudukan persoalan TKA ini ke publik secara baik. Penjelasan Kemenakertrans sejauh ini tidak tuntas dan bersikap defensif. Akibatnya, pemerintahan Presiden Jokowi jadi sasaran sinisme sebagian publik atas persoalan ini,” jelas Okky.
Polemik soal TKA bermula ketika Presiden menerbitkan Perpres No.20/2018 tentang Penggunaan TKA. Okky mengaku sudah mengingatkan Kemenakertrans agar berhati-hati dengan rencana perubahan regulasi tersebut, karena telah mengusik rasa keadilan publik ini. Namun, politisi PPP ini, mengapresiasi atas kemajuan perubahan regulasi menyangkut TKA ini.
Pasal-pasal dalam Perpres yang diapresiasi itu, pertama, soal pengesahan rencana penggunaan TKA yang diberikan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk maksimal dua hari (Pasal 8). Ini sesuai dengan niat awal pemerintah untuk mempermudah proses izin TKA ke Indonesia. Pasal 15 ayat (1) juga diapresiasi menyangkut kewajiban membayar dana kompensasi bagi pemberi tenaga kerja TKA atas pengunaan setiap TKA.
Ditambahkan politisi PPP ini, perubahan pasal yang juga diapresiasi adalah pemberi kerja bagi TKA wajib memfasilitasi pendidikan dan pelatihan bahasa Indonesia bagi TKA seperti tertuang dalam Pasal 26 ayat (1). “Norma ini kembali mewajibkan soal bahasa Indonesia, setelah sebelumnya Menaker Hanif Dhakiri melalui Permenaker No.35/2015 menghapus soal kewajiban bahasa Indonesia ini. Perpres ini bisa disebut mengoreksi kebijakan Menaker Hanif Dhakiri, khususnya soal kewajiban kemampuan bahasa Indonesia,” ungkap Okky.
Lebih lanjut politisi dari dapil DKI Jakarta II ini, melihat, Perpres juga tidak sedikit mendelegasikan kewenangan kepada Menaker untuk membuat aturan turunan yang lebih teknis dan detil. Dan Permenaker atau Kepmenaker kelak menjadi kunci Perpres ini, karena akan diketahui jabatan apa saja yang dilarang diisi oleh TKA. Pertanyaan yang tersisa, apakah Menaker masih menggunakan Kepmen lama era Muhaimin (Kepmen No.40/2012 tentang Jabatan-jabatan Tertentu yang dilarang diduduki TKA).
Sampai saat ini, memang, belum ada penjelasan kepada publik. Kepmenaker juga dibutuhkan untuk merinci jenis pekerjaan yang dibutuhkan pemerintah seperti digariskan Pasal 10 ayat (2) Perpres No.20/2018. “Penggunaan TKA di sektor pendidikan, lembaga sosial, dan keagamaan disebutkan tidak dipungut dana kompensasi untuk jabatan tertentu. Ini juga membutuhkan Kepmenaker sebagaimana amanat Pasal 6 ayat (3) Perpres No.20/2018,” tutup Okky. (mh/sc)