Kasus Fidelis Jadi Cambuk Bagi Hukum Indonesia
Anggota Komisi III DPR RI yang berada di derah pemilihan Kalimantan Barat Erma Suryani Ranik berjabat tangan usai melakukan pertemuan dengan jajaran penegak hukum di Provinsi Kalimantan Barat.Selasa, (31/10).Foto:Nadya/rni
Anggota Komisi III DPR RI yang berdaerah pemilihan Kalimantan Barat Erma Suryani Ranik mengaku sangat kecewa terhadap kinerja Badan Nasional Narkotika Provinsi (BNNP) Kalimantan Barat terhadap kasus Fidelis. Menurutnya, dalam kasus tersebut, BNN Kalbar tidak memiliki konsep restorative justice.Hal tersebut mengemuka saat rombongan Komisi III DPR RI melakukan pertemuan dengan jajaran penegak hukum di Provinsi Kalimantan Barat yang berlangsung di aula Khatulistiwa Mapolda Kalbar.Selasa, 31/10.
“Kasus ini sudah diputus dan sudah berkekuatan hukum tetap, nanti tanggal 15 November Fidelis akan bebas murni. Dan kasus ini juga menjadi perhatian bagi dunia bagaimana cara hukum Indonesia memperlakukan orang yang mencari pengobatan alternatif dengan menggunakan ganja,” kata politisi Partai Demokrat ini menumpahkan kekecewaannya. Apalagi, saat ini Komisi III juga sedang menyelesaikan RUU KUHP. Maka, kasus Fidelis menjadi bagian yang akan dimasukkan ke dalam isu pembahasannya.
“Buku 1 sudah selesai dan ada 100 lebih pasal. Kita akan masuk ke buku 2. Kita berharap kejadian yang dialami Fidelis ini bisa menjadi salah satu inisiatif untuk membuka ruang yang lebih besar lagi bagi penelitian penggunaan beragam obat-obatan yang bisa dipakai untuk penyembuhan manusia, salah satunya adalah menggunakan ganja,” ungkap Erma.
Menurutnya, memang UU Narkotika saat ini melarang penggunaan ganja walau untuk pengobatan. Dan itu jelas ada pasalnya. Tapi Erma meyakini bahwa ada alternatif-alternatif lain. Ini sudah menjadi bahan diskusi yang hangat di Komisi III bersama pemerintah. Dalam hukum, sambung Erma, ada konsep kepastian hukum dan keadilan hukum. Ketika kepastian hukum berhadapan dengan keadilan hukum, maka yang harus diutamakan adalah keadilan. Kepastian hukum gunanya untuk menjamin keadilan.
“Karena itu lembaga tempat kita bersengketa disebut pengadilan negeri, pengadilan tinggi, bukan keadilan negeri, bukan keadilan tinggi, karena disitulah kita bicara soal keadilan. Kita dari Komisi III mendorong konsep-konsep restorative justice sehingga tidak ada lagi cerita tentang kasus seperti Nenek Minah yang mengambil kayu bakar dituntut pidana juga kasus Fidelis," papar Erma.
Erma melanjutkan, dalam konsep RUU KUHP yang baru nanti ada pidana kerja sosial, pidana denda, dan pidana untuk korporasi. Jadi, dalam RUU KUHP, betul-betul akan dibedakan antara tindak pidana yang memang dilakukan oleh para pelanggar hukum yang pantas untuk dihukum berat dan pelaku tindak pidana kecil dengan kerugian yang tidak terlalu besar, juga korbannya tidak menuntut. Maka itu masuk konsep pidana kerja sosial.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI Aziz Syamsudin berpendapat, persoalan narkoba di semua daerah sama, baik penyebaran maupun penggunaannya. Hanya saja, karena Kalbar berbatasan langsung dengan negara sahabat, maka kerja-kerja para penegak hukum di Kalbar juga Ibu Erma Suryani Ranik selaku Wakil dari Provinsi Kalbar dapat betul-betul memahami tentang daerah perbatasan tersebut.
“Persoalan narkoba juga bukan hanya kita menyerahkan tugas dari BNNP dan Polda, tapi juga seluruh elemen masyarakat. Karena begitu panjang perbatasan kita ini dari barat sampai timur khususnya di Kalbar, tentu perbatasannya sebagai pintu masuk dan ini perlu kerja sama semua pihak,” kata politisi Golkar Dapil Lampung itu. Dari sisi anggaran, Aziz yang juga Ketua Badan Anggaran DPR RI mengaku, akan membantunya.(ndy)