Anggota DPR Kecewa Penolakan Asosiasi Perusahaan terhadap RUU TJSP
Anggota DPR RI Itet Tridjajati Sumarijanto mengungkapkan rasa kecewanya dengan ada penolakan dari Asosiasi perusahaan dan pengusaha terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP). Dengan RUU TJSP diharapkan dapat lebih cepat mengentaskan kemiskinan.
Menurut Itet, dari sekian banyak perusahaan yang ada belum dapat mengentaskan kemiskinan. Tanggung jawab sosial bukan hanya pemerintah, tapi perusahaan juga memiliki peran tanggung jawab sosial.
“Saya kecewa ada penolakan dari Kadin, Apindo, dan Hipmi bahwa tidak perlu ada UU khusus tentang tanggung jawab social, dari sekian banyak perusahaan apakah sudah dapat mengentaskan kemiskinan, perusahaan-perusahan ini jangan mengambil untungnya saja,” katanya, saat Komisi VIII DPR menggelar Rapat dengan Kamar Dagang Indonesia (KADIN), Asosiasi Pengusaha Indonesia (ASPINDO, dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (22/10/2016).
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini juga mengatakan bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan masih lemah. “Komisi VIII ingin memperbaiki bukan membebani perusahaan, bagaimana mengawasinya dengan sekian banyak ini yang akan diatur,” paparnya.
Sejalan dengan itu, Samsu Niang, mengatakan CSR dapat dimanfaatkan dalam mensejahterakan di lingkungan sekitar perusahaan. Kalau ini tidak tersosialisasikan dengan baik dikhawatirkan tidak akan ditepati lagi yang menjadi komitmen terhadap tanggung jawab sosial oleh perusahaan.
“Banyak perusahaan yang menghindari tanggung jawab sosial maka perlu dibuat UU tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan,” ungkapnya.
Hal senada, disampaikan Desy Ratnasari dari Fraksi Partai Amanat Nasional, bahwa RUU ini diinisiasi dari pemikiran bahwa ingin melakukan pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan secara masif diseluruh Indonesia, yang tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah. Hal ini juga menjadi tanggung jawab seluruh stakeholder yang ada.
“Komisi VIII melihat tidak dilakukan secara optimal oleh para pengusahaa dan perusahaan yang ada di daerah seluruh Indonesia. Akhirnya DPR menginginkan lahirnya UU TJSP ini,” katanya.
Menurutnya, sebaiknya ada pengaturan pelaporan kinerja perusahaan, sejauh mana perusahaan tidak merasa tidak ada pihak yang ikut mencampuri manajemen perusahaan, Pihaknya memiliki tanggung jawab menyampaikan sebuah peringatan kesadaran sosial dari masing-masing perusahaan.“Jika ada kesadaran dari masing-masing perusahaan mungkin RUU ini tidak akan lahir. Tapi ternyata ada yang belum maksimal maka RUU tercetus,” katanya.
Dia menambahkan, RUU TJSP lahir sebagai sebuah integrasi seluruh UU yang telah ada guna melahirkan program-program untuk mengentaskan kemiskinan sekaligus mendorong tumbuhan perekonomian.
Patut diketahui,pernyataan Apindo yang disepakati Hipmi dan Kadin menyatakan bahwa tidak diperlukan UU Khusus mengatur tentang TJS, namun diperlukan mekanisme pengawasan yang lebih baik. Hal ini dikarenakan aturan-aturan TJS Perusahaan sudah terintegrasi dalam berbagai UU yang ada yang telah mencakup upaya pencapaian pembangunan berkelanjutan.
Saat ini setidaknya ada 11 UU yang berlaku di Indonesia yang telah memuat pengaturan terkait TJS Perusahaan. Penambahan regulasi baru yakni RUU TJSP tidak menjamin pelaksanaan TJS seluruh organisasi akan lebih baik ke depannya. Yang dibutuhkan yakni pengawasan terhadap impelementasi regulasi yang ada, bukan penambahan regulasi baru. (as)/foto:jaka/iw.