Komisi VIII DPR : Apakah Ada Jaminan PMA 68/2015 Tidak Timbul Konflik
Anggota Tim Kunjungan Spesifik Komisi VIII DPR RI ke Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Endang Maria Astuti mempertanyakan apakah Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua pada Perguruan Tinggi Keagamaan yang diselenggarakan pemerintah.
“Apakah PMA 68 Tahun 2015 ini bisa memberikan jaminan tidak akan menimbulkan konflik?” tegas Endang menanggapi pernyataan Kakanwil Kemenag DI Yogyakarta saat pertemuan Tim Komisi VIII dipimpin Wakil Ketua Komisi VIII Deding Ishak dengan Kakanwil Kemenag dan Civitas Akademika UIN Sunan Kalijaga, Jumat (29/1/2016) di Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Menurut Endang, adanya perbedaan pendapat yang dikhawatirkan pemerintah dapat menimbulkan konflik itu sesuatu hal yang biasa. “Justru itulah yang perlu dijunjung, bahkan di era reformasi ini justru mestinya demokrasi ini bisa menjadi garda terdepan,” tegas politisi dari Fraksi Partai Golkar Daerah Pemilihan DI Yogyakarta..
“Tetapi dengan dipasungnya, apalagi ini civitas akademika. Jadi bagaimana para dosen ini mau bicara sementara dia sendiri dipasung haknya. Harapan saya ada solusi terbaik,” imbuhnya.
Ia menegaskan, bahwa Senat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyuarakan hal yang sama dengan Komisi VIII DPR RI, yaitu minta adanya penyempurnaan dari PMA 68 Tahun 2015 ini.
Sementara, Itet Tidjajati Sumarjianto (F-PDIP) bertanya apakah para rektor UIN di seluruh Indonesia dimintai pendapatnya atau diajak berdiskusi sebelum PMA ini dikeluarkan. menteri agama
“Waktu penyusunan PMA, apakah sebelumnya pernah ada diskusi dengan rektor-rektor sebelum mengeluarkan PMA ini? Apa keluar sendiri, begitu mekanismenya. Sudah jadi baru didiskusikan, ini hal yang perlu diperhatikan pemerintah,” papar Itet.
Kalau memang PMA 68 TAhun 2015 ini untuk menyempurnakan PMA 11 Tahun 2014, kata Itet, mestinya tinggal penyempurnaan yang menghapus kalimat yang ada unsur konflik saja.
“PMA yang ada sekarang ribet, cukup panjang, ada pansel, timsel, dan seterusnya-dan seterusnya, dan ada unsur politiklah dan sebagainya. Sebetulnya tinggal disederhanakan saja tidak perlu merubah semuanya,” imbuh anggota DPR dari daerah pemilihan Lampung ini.
Sebelumnya, dalam pertemuan tersebut, Kakanwil Kemenag DI Yogyakarta Maskul Haji berpendapat, PMA 68 Tahun 2015 merupakan revisi dari PMA 11 Tahun 2014. Ia menginformasikan bahwa menurut Menteri Agama dikeluarkan PMA 68 TAhun 2015 karena PMA 11 Tahun 2014 dinilai kurang demokratis dan syarat dengan kepentingan kelompok serta tidak memberi peluang sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya bagi calon rektor untuk menggunakan hak konstitusionalnya dalam pencalonan rektor, karena terkendala oleh aviliasi kelompok dan organisasi dalam senat.
“PMA 11 Tahun 2014 kurang pas mengimplementasikan kalimat memberikan pertimbangan yang diterjemahkan dan diaplikasikan dengan memberikan suara atau quota atau vote dalam tahap pemilihan,” terang Maskul.
Oleh karena itu, lanjut Maskul, PMA 68 Tahun 2014 meluruskan kalimat memberikan pertimbangan bukan memberikan suara/vote sesuai dengan tugas dan fungsi senat sebagaimana diatur dalam PP No.4/2014 Pasal 29 ayat 1 huruf a yang menyatakan senat universitas sebagai unsur penyusun kebijakan sebagaimana dimaksud Pasal 28 huruf a yang menjalankan fungsi penetapan dan pertimbangan pelaksanaan kebijakan akademik.
Selanjutnya ia menjelaskan, bahwa pemberian pertimbangan dalam pemilihan rektor mestinya sesuai dengan tugas dan fungsi senat yakni memberikan pertimbangan kualitatif bukan suara/vote. Jadi memang sebelum keluarnya PP 66/2010 senat merupakan organ tertinggi dalam Perguruan Tinggi. Namun setelah terbitnya PP 66/2010 dan diperkuat lagi disahkannya UU Nomor 12/2012 dan PP No 4/2014 Senat mengalami perubahan fungsi menjadi senat akademik. Karena itu PMA 68/2015 memperbaiki mekanisme pemilihan rektor dalam PMA 11/2014,” papar Maskul. (sc), foto : suciati/parle.