Senat UIN Sunan Kalijaga : Kembalikan Pemilihan Rektor Seperti PMA 11 Tahun 2014
Peraturtan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 Tahun 2015 tentang pengangkatan dan pemberhentian rektor/ketua pada perguruan tinggi keagamaan negeri menuai penolakan terutama dari Guru besar berbagai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag).
Terkait hal tersebut, Komisi VIII DPR RI telah memanggil Dirjen Pendidikan Islam Kemenag dalam rapat dengar pendapat Komisi VIII. Dalam rapat tersebut, Komisi VIII DPR minta PMA 68 Tahun 2015 ditinjau ulang.
Untuk menggali informasi mengenai pengangkatan dan pemberhentian rektor/ketua perguruan tinggi islam negeri sejalan dengan diterapkannya PMA Nomor 68 Tahun 2015 tersebut, Komisi VIII DPR melakukan kunjungan spesifik ke Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dalam pertemuan Tim Komisi VIII DPR dipimpin Wakil Ketua Komisi VIII Deding Ishak dengan Kepala Kanwil Kemenag DI Yogyakarta dan Civitas Akademika UIN Sunan Kalijaga, Senat UIN Sunan Kalijaga minta pemilihan rektor dikembalikan seperti PMA 11 Tahun 2014.
“Kami mengusulkan dalam penyempurnaan PMA 68 Tahun 2015, agar pemilihan rektor dikembalikan seperti PMA 11 Tahun 2014, dan apa yang kemudian dipilih senat langsung disampaikan kepada menteri bukan melalui rector,” kata Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga Abdul Munir Mulkhan saat pertemuan dengan Tim Komisi VIII DPR di Kampus UIN Sunan Kalijaga, di Yogyakarta, Jumat (29/1/2016).
Ia juga mengusulkan Komisi 7 yang dibentuk oleh Menteri Agama sebagai komisi yang melakukan penyeleksian dihapus. Karena pemilihan dilakukan oleh senat sesuai calon yang tersedia dan memenuhi syarat serta memberi rangking dan kemudian dikirim kepada menteri.
Menurutnya, UIN Sunan Kalijaga merupakan Perguruan Tinggi Islam tertua. Selama UIN Sunan Kalijaga berdiri pemilihan rektor berjalan seperti biasa, dan masalah perbedaan pendapat merupakan hal biasa. “Perbedaan itu bukan membuat kita menajdi saling bermusuhan tapi justru saling kontributif untuk meningkatkan mutu kehidupan bersama,” imbuhnya.
Yang perlu dipahami bersama, lanjut Munir, ia melihat ada perubahan wewenang dalam proses pemilihan rkctor. PMA 68 Tahun 2015, senat banyak memberi nilai bagi seluruh calon dan kemudian disampaikan kepada menteri agama dan kemudian menteri agama membentuk komisi 7 dan seluruhnya mengenai pemilihan rektor ini menjadi wewenang komisi 7.
Sementara itu, Kakanwil Kemenag Maskul Haji berpendapat, PMA 68 Tahun 2015 lebih demokratis dan lebih memberikan peluang yang seluas-luasnya untuk civitas akademika yang memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai calon rektor tidak terkendala aviliasi kelompok dan organisasi dan menjunjung tinggi obyektivitas penilaian karena ada komisi seleksi yang akan bekerja dengan obyektif, hal ini sejalan dengan spirit reformasi birokrasi yakni pengisian jabatan melalui assasment.
Sementara PMA 11 tahun 2014, kata Maskul, belum menjalankan spirit reformasi tersebut karena tanpa seleksi, kompetensi dan kemampuan akademik.
“Pemilihan Rektor tidak termasuk wilayah otonomi perguruan tinggi sebagaimana diatur dalam PP No 4 TAhun 2014 Bab II Pasal 22 dan Pasal 23 yang secara jelas mengelaborasi item-item otonomi Perguruan tinggi dalam akademik dan non akademik,” terangnya.
Maskul berpendapat, PMA 68 telah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan tidak bertentangan dengan otonomi perguruan tinggi. Bahkan PMA 68 ini menjunjung tinggi obyektivitas dalam seleksi dan sesuai dengan semangat reformasi birokrasi serta sesuai pula dengan iklim akademik kampus yang mestinya menjunjung tinggi obyketivitas bukan subyektivitas dengan vote/suara dalam pemilihan. (sc), foto : suciati/parle.