Sanksi Dikebiri Dimungkinkan Tapi Harus Dengan Tahapan Terukur
Anggota Komisi VIII DPR Achmad Mustaqim menyatakan, usulan perlunya sanksi berat berupa pengebirian bagi pelaku kejahatan seksual, terlalu jauh. Karena meski hukuman seperti ini dimungkinkan tetapi harus dengan tahapan-tahapan terukur. “ Jangan sampai kita memberi hukuman, tetapi di saat yang sama melanggar hak asasi orang lain,” tukasnya kepada pers di ruang kerjanya, Kamis (15/10) di Senayan, Jakarta.
Hal itu dikatakan Mustaqim menanggapi pernyataan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa yang merasa geram dengan maraknya kasus kejahatan sexsual terhadap anak anak, sehingga mengusulkan supaya hasrat sex atau libido pelaku dikebiri.
Seperti penerapan hukuman mati, kata politisi PPP ini, mempunyai ukuran-ukuran. Karena itu usulan vertilisasi saat ini belum pada porsinya, kecuali ada situasi yang sangat akut, kemudian tetap hukuman dalam posisi terukur.
Kalau merujuk anak-anak sebagai obyek, maka bicaranya pelaku kekerasan adalah orang dewasa sehingga pendekatannya adalah hukum pidana umum. Tetapi kalau pelakunya anak-anak, maka tidak bisa . Pada kejadian sekarang ada anak SD berhubungan badan, pertanyaannya benarkah anak ada kesadaran setinggi itu atau karena terpengaruh tontonan dan keluarganya membiarkan. “ Ini kan tidak bisa hukum kebiri, jelas tidak masuk akal,” tegasnya.
Karena itu, sambung dia, solusi terbaik adalah harus kembali ke norma-norma kehidupan kita sendiri yang selama ini sehingga pendidikan paling dini adalah di rumah. Pendidikan dini ini bisa ikut menghantarkan anak menjadi lebih baik.
“ Saya tak yakin anak-anak menjadi subyek anak sendiri, juga tak yakin kalau anak-anak mempunyai kesadaran pada titik itu. Saya lebih yakin, anak terpengaruh oleh audio visual maupun berita umum tapi lebih banyak oleh media visual,” katanya.
Sebagai salah anggota Panja Perlindungan Anak, menurut Mustaqim yang sempat beberapa kali RDP juga kunjungan ke daerah sehingga ada hal-hal perlu dicermati berkaitan dengan meningkatnya kekerasan terhadap anak. Diantaranya, kondisi sosial budaya ada sebagaian masyarakat desa mereka yang kekurangan secara fisik dianggap aib sehingga kurang perlindungannya.
Selain itu, ada sebagian masyarakat yang kurang terdidik yang kadang melihat anak seperti itu bisa dieksploitir sesuai nafsu dan kepentingannya. Contoh di Kepri, ada seorang guru wali murid yang menggagahi muridnya. “ Ini kondisi yang sangat memprihatinkan. Belum lagi kondisi human trafick khususnya anak-anak. Mengacu UU N0.34/2014 berkaitan perlindungan anak adalah yang dimaksud adalah 18 tahun. Padahal contoh human traffic anak-anak Jabar dikirim ke Batam arahnya human trafik dan seks komersial di bawah 18 tahun,” katanya dengan menambahkan, pada tataran ini harus ada ketegasan, namun sangat kompleks karena ketegasan terhadap anak berbeda dengan dewasa. (mp), foto : naefurodjie/parle/hr.