DPR Inginkan Kodifikasi Parsial Dalam Pembahasan Revisi UU KUHP
Komisi III DPR RI mempertanyakan sikap pemerintah apakah melalui kodifikasi total (tertutup) atau parsial (terbuka) dalam revisi UU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang akan segera dibahas. DPR RI masih menunggu penjelasan pemerintah terlebih dahulu, termasuk pengajuan Daftar inventarisasi masalah (DIM) sebanyak 1.600. DPR realistis saja kalau hal itu tidak mungkin selesai untuk lima tahun ke depan, maka sebaiknya sepakat untuk kodifikasi parsial.
“Jadi, DPR RI akan mempertanyakan dulu kepada pemerintah mengapa berkehendak kodifikasi total? Karena itu, kita akan mendengar filosofi, background, alasan pemerintah mengajukan kodifikasi total dalam UU KUHP ini,” tegas anggota Komisi III DPR RI FPPP Arsul Sani dalam forum legislasi ‘Revisi UU KUHP’ bersama guru besar UNPAD Bandung, Prof. Dr. Romli Atmasasmita dan mantan penasihat KPK H. Abdullah Hehamahua di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (15/9/2015).
Kalau sepakat kodifikasi parsial kata Arsul, maka DPR RI dan pemerintah dalam pembahasan nanti tinggal membongkar bab dan pasal mana yang perlu dibahas atau tidak. Dalam draft yang dikirimkan pemerintah kejahatan khusus seperti terorisme, pelanggaran HAM berat, narkotika, korupsi (Tipikor), pencucuian uang (TPPU), perdagangan manusia (traficking), yang semula diatur oleh UU tersendiri, akan dijadikan satu (kodifikasi total) dalam UU KUHP. KUHP terdiri dari 768 pasal dalam dua buku.
Termasuk pasal penghinaan kepada Presiden RI pasal 134 sampai pasal 137 KUHP yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menurut pemerintah ada norma yang berbeda. Tapi kata Arsul, kenapa Presiden RI yang harus melapor? “Jadi, saya sendiri mendukung kodifikasi parsial, fraksi-fraksi sendiri kini sedang menyusun DIM. Komisi III DPR pun akan mengundang masyarakat untuk memberi masukan,” ujarnya.
Yang jelas kata Arsul, kalau fraksi-fraksi nanti mendukung kodifikasi tertutup maka tidak otomatis melemahkan KPK, Kepolisian, Kejagung, dan Mahkamah Agung (MA). Khususnya dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, karena penguatannya akan diatur dalam aturan peralihan. Namun, itu pun harus pula diikuti dengan percepatan penataan kelembagaan hukum tanpa mengurangi kewenangan, atau melemahkannya.
KPK sendiri menurut Abdullah Hehamahua tidak alergi dengan amandemen UU KPK, karena memang ada pasal yang perlu disempurnakan, tapi bukan untuk melemahkan, melainkan untuk penguatan.
“Sehingga kalau ada keinginan pemerintah untuk membubarkan KPK maka tetap harus ditangani dengan UU khusus. Sebab, 13 kali judicial review ke MK hanya satu yang terkait dengan kepentingan KPK, di mana jika komisioner KPK menjadi tersangka tidak otomatis dipecat sampai ada keputusan hukum tetap. Selebihnya untuk menggusur KPK. Seperti penyadapan yang harus dibawah pengawasan pengadilan dan lain-lain. Itulah yang menjadi trauma KPK,” katanya.
Seperti kasus PT TUN Sumatera Utara yang melibatkan Gubernur, kalau penyadapannya harus di bawah pengadilan atau kejaksaan, maka sebaiknya tidak harus ada KPK. “Kalau penggeledahan dimungkinkan, tapi kalau penyadapan, ya untuk melemahkan KPK. Bahwa 43 % kasus korupsi itu ada pengadaan barang dan jasa, di kepolisian 60 %, dan APBN 60% juga untuk barang dan jasa. Maka tiga kartu sakti Presiden Jokowi juga demikian,” ungkapnya.
Romli Atmasasmita menegaskan kita jangan sampai terinspirasi pada hukum yang berlaku umum, untuk semua orang, dan untuk seluruh dunia (total codification), agar kita memilki kedaulatan sebagai negara hukum, sehingga lebih baik kodifikasi terbuka (parcial codification) dan itu lebih mudah. “Kalau kodifikasi umum bisa menimbulkan masalah dengan dunia internasional di tengah diplomasi kita yang lemah,” tuturnya.
Contohnya seks bebas, perkawinan sejenis, minuman keras, perjudian, dan lain-lain menurut Romli, itu kan tercela di negara Indonesia, tapi tidak demikian di Amerika Serikat. Selain itu, Indonesia bisa diintervensi oleh asing atau FBI. “Jadi, biarkan hukum berlaku secara parsial, terpisah antara delik, perbuatan kejahatan umum dan kejahatan yang khusus. Jangan disatukan dalam satu KUHP. Dari pada politik hukum kita tidak jelas, sebaiknya menganut sistem kodifikasi parsial dan DPR RI tetap bisa melakukan pengawasan,” pungkasnya.
Selama ini sudah ada UU khusus terorisme, UU tindak pidana korupsi, UU pelanggaran HAM, UU pencucuian uang, UU traficking dan lain-lain. UU khusus tersebut diatur di luar KUHP, yakni UU tersendiri yang khusus mengatur kejahatan khusus tersebut.(nt/sc)/foto:andri/parle/iw.
|