RUU Minol, Atur dari Hukum Rimba ke Rezim Bermartabat
Forum Legislasi yang digelar di Press Room DPR Selasa (28/4) mengupas mengenai RUU Minuman Beralkohol (Minol) dengan tiga nara sumber yaitu anggota Komisi III DPR Arsul Sani, anggota DPD Fahira Idris dan Ketua KPAI Asrorun Ni’am Soleh.
Selaku pengusul RUU ini, Arsul Sani mengatakan dalam RUU Minol tidak hanya mencakup persoalan atau pengaturan minuman beralkohol produk industry tetapi juga mengatur miras oplosan. Pertimbangan mengajukan RUU ini karena Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, dimana ajaran Islam melarang minuman beralkohol yang memabukkan.
Tetapi faktanya, peredaran dan penjualan minuman beralkohol di Indonesia sangat bebas dan bisa dikonsumsi siapa saja. “ Kita hanya ingin mengatur dari rezim hukum rimba menjadi rezim yang bermartabat,” tegas Arsul.
Padahal, di negara-negara lain, seperti di Amerika Serikat, Inggris, Skotlandia dan Australia, ada undang-undang yang mengatur peredaran minuman beralkohol atau minuman keras, sehingga menjadi tertib.
Klasifikasi minuman beralkohol, ujar Arsul, tidak jauh dari Permendag, minol Golongan A yaitu dengan kadar etanol lebih dari 1-5%. Gol. B 5-20% Gol. C 20-55% dan kenapa oplosan juga masuk karena ada ada klasiffikasi minuman beralkohol atau racikan (oplosan). Dalam RUU ada di pasal 8 yaitu pengecualian. Larangan dimaksud tidak berlaku untuk kepentingan terbatas, hanya kepentingan terbatas ini akan diatur dengan PP. Penjelasannya adalah, untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi dan tempat2 yang diijinkan peraturan perundangan.. Terkait ketentuan pidana dimana membuat minol tanpa ijin dipidana minimal 2 tahun, maksimal 10 tahun plus denda.
Ketua Gerakan Nasional Anti Miras (GeNam) yang juga anggota DPD, Fahira Idris mengutip data Kementerian Kesehatan tahun 2007, angka konsumsi miras di kalangan remaja sebesar 4,9 persen. Namun melonjak menjadi 23 persen pada 2014 dan apabila dari dulu Indonesia memiliki aturan miras yang jelas maka kondisinya tidak seperti itu.
"Kondisi itu sudah puluhan tahun terjadi dan pemerintah lalai dalam hal ini. Kondisi itu berbeda dengan narkotika yang sudah memiliki UU," ujarnya.Menurut dia industri bir sangat massif memasarkan produknya dengan sasarannya para remaja.
Ketua KPAI Asrorun Ni’am menanggapi wartawan bahwa miras sebagai pelengkap acara ritual menegaskan, harus dibedakan antara hal yang faktual dengan yang kita idealkan. Salah satu fungsi UU itu adalah melakukan rekayasa sosial dari sesuatu yang tidak baik -- meski dikenal luas di masyarakat, menuju hal yang baik.
Ada yang factual di masayarakat soal miras, suatu yang biasa belum tentu benar secara etika, moral maupun hukum. Menjadi bermasalah ketika sesuatu yang biasa di tengah masyarakat tetapi itu salah . “ Disinilah fungsi hukum dalam masyarakat yang berbudaya untuk kepentingan tertib sosial dan tertib hukum,” ia menambahkan. (mp)